[Kolom] Tewasnya (Sumpah) Pemuda?

Rodi Ediyansyah

Lampung.co – Pernah terpikir bagaimana kabar dan menderitanya Bung Karno di liang lahat menyaksikan bangsa yang ditinggalinya ini terkatung-katung mencari kemerdekaan yang sudah lama disiapkannya dalam fantasi kepala.

Betapa malu hati ia dikucilkan oleh dirinya sendiri, dan bisa jadi ingin sekali beliau mati lagi dengan cara yang berbeda, bunuh diri untuk bagaimanapun caranya berhenti mengingat ulang mahar yang ia beri agar bangsa ini memiliki hak menentukan dirinya sendiri.

Pengorbanan itu sudah sekedar omong kosong dianggap memang sudah mestinya terjadi, sekalipun menolak dalam pikiran. Mimpi yang akan tetap di luar realitas, berguling terbelakangi dengan laju Negeri Kepulauan India ini tanpa kepastian arah yang jelas dalam mengartikan dirinya sebagai sebuah Negara.

Negara sebagai bentuk entitas tidak nyata namun mengaku ada, sudahlah hal yang mesti menjadi penanggungjawab terhadap kebaikan, kebahagiaan, kebebasan, keadilan, kesejehteraan, keamanan, kepuasan, serta terciptanya karakter bermoral luhur bagi seluruh orang yang memberikan tanah dan alam warisannya untuk diefektifkan.

Namun, itu sebatas retorika yang digunakan kemudian berulang-ulang bagi mereka yang berhasrat menggenggam Negara. Tanpa benar menghadirkan itu.

Dalam upaya mengeluarkan dirinya dari garis batas kebohongan yang menjubahi kekuasaan ini, kebanyakan bangsa mengadu kepada kaum intelektual yang posisinya berada di tengah timbangan masyarakat.

Melalui seni berekspresi, sesuatu yang menyimpang tidak sesuai jalan tujuan diminta kembali memutar setir agar bisa melanjutkan perjalanan yang ingin dilakukan semua orang. Namun tidak semua kaum intelektual bersudi untuk melakukan pembebasan kejahatan Negara itu dengan sarana yang kompak, masalahnya mereka memilih caranya masing-masing.

Jalan yang baginya benar dan baik untuk membawa penderitaan itu runtuh digantikan kehidupan yang dinamis progresif. Maka secara diakronik, masyarakat melihat kalau orang-orang muda, pelajar khususnya, sebagai pihak yang memungkinkan untuk diharap mampu berdiri di atas kepentingan mereka karena berposisi sebagai bakal orang-orang intelektual.

Lebih lagi kaum muda merupakan orang-orang yang secara biologis memiliki tingkatan hormon yang baik dimana berarti penuh dengan daya semangat tinggi untuk membantu masyarakat yang secara pengetahuan tidak merata.

Golongan muda dengan gairah meledak-ledak yang dalam sejarahnya dapat menciptakan kepungan massa untuk menekan kokohnya kebijakan publik memang nyata bisa memenangkan pertarungan.

Lantas apa revolusi benar bisa menelurkan kehidupan ideal dan meninggalkan lingkungan memalukan. Sikap naïf kaum muda yang rela terorganisir ini jelas-jelas banyak menghasilkan kehidupan nyaman, tapi sayangnya dalam kasus Negeri ini menjadi impotensi.

Namun lebih jauh daripada itu, esensi dari sebuah pemberontakan terhadap kehidupan mapan dimana segalanya seakan absolut, tanpa mungkin digantikan menjadi penting karena mendasari kebutuhan masyarakat terutama rakyat kecil. Kebanyakan yang merasa keinginan untuk hidup bebas harus diafirmasi.

Maka sebuah perjuangan kaum intelektual yang ditawarkan para muda bisa tidak selalu dalam bentuk gerakan massa, seorang individu bisa melakukannya dalam banyak ekspresi, sastra atau musik, tontonan atau prestasi.

Pengulangan pembaharuan ilmu pengetahuan pada dasarnya bisa menjadi perlawanan terhadap imprealisme yang seenak jidat menghendaki akal piciknya. Imprealisme sudah seakan dilupakan dan mati, walau kenyataan yang hadir ia bagaikan penyakit keabadian yang mustahil dilerai di dalam peradaban dunia.

Indonesia sendiri, Negeri yang sudah terbiasa dengan cengkeram totalitas imprealisme sejak ratusan tahun berlalu, menganggap itu adalah bagian dari kehidupan.

Perasan semacam itu sayangnya tidak relevan bagi masyarakat mayoritas, rakyat-rakyat menengah bawah yang sekalipun tidak mengenal pemahaman imprealisme, namun merasakan kebebasan dan kebahagiaan yang dimilikinya begitu penuh dengan aturan yang tidak parnah dimengerti.

Begitu kuatnya, imprealisme telah menjelma sebagai objek positif yang karena menghadirkan kebebasan memperoleh informasi dari berbagai tempat di dunia dan teknologi membuat kehidupan manusia menjadi lebih baik dan mudah.

Saksikan saja, isu-isu sosial dan politik dunia yang dapat dibaca dan lihat sampai ke liang kubur seseorang, pengenalan budaya luar yang sekalipun tidak nyambung dengan nilai bangsa, serta kelaziman penggunaan jaringan internet yang sudah dianggap perlu dalam mengisi sendi kehidupan.

Hal ini tidak saja menimbulkan perasaan gelisah karena dibenturkannya dengan berbagai macam persoalan informasi, namun juga membuat ruang privat seakan aneh untuk dimiliki, lebih lagi fenomena pemujaan berlebih akan kebudayaan asing telah menciptakan realitas palsu bagi masyarakat.

Perkembangan teknologi dan juga aktivitas media membuat kehidupan masyarakat menjadi lebih baik dan mudah pada dasarnya adalah sebuah bentuk ilusi dari imprealisme. Agar dominasi penguasaan tetap tangguh tanpa khawatir timbulnya pemberontakan radikal sebagaimana di masa lalu.

Kita semua merasakan betul-betul bagaimana banyak hal ini telah dianggap mendatangkan keuntungan dalam dunia baru, dimana korupsi, perampasan lahan bakal pembangunan, tingginya harga konsumsi, meleburnya budaya luar dengan lokal.

Hingga pencitraan suatu hal tanpa fungsi yang esensial, manipulasi safari atau benda dari hasil fantasi, dan serangkaian bentuk laku yang karena ada terus menerus maka dianggap sebagai sebuah kebiasaan yang kadang kala memberi untung.

Seperti diciptakannya tempat wisata bergaya dunia fiksi yang hanya ada dalam imajinasi seorang bocah, dengan dinasaurus, pahlawan super, dan adrenalin-adrenalin irasional lainnya yang dinilai sebagai arena penting dalam menuntaskan perasaan menghibur diri dan orang terdekat.

Dimana yang dalam pemahaman Jean Baudrillard, kita hidup dalam sistem simulacra, sebuah konsep hidup yang tersimulasi dan menggantungkan tanda-tanda sebagai yang sesungguhnya dalam realitas.

Dalam suasana yang mungkin bagi sebagian orang saja, merasa sangat penting karena terucapkannya janji dan panji, yang sudah nyaris satu abad dibuncahkan, akan merasa sebagai kaum muda mereka memiliki beban yang berat dalam menyampaikan perasaan penindasan masyarakat banyak.

Apalagi untuk pembebasan yang dianggap sebuah kekonyolan hanya karena imprealisme tidak lagi dalam bentuk tradisional. Kaum muda yang dipanggil cendekia, tidak lagi memiliki hasrat untuk menciptakan sesuatu yang berguna dan manfaat karena mengaku dunia telah baik-baik saja dengan sistem yang harus didukung.

Tidak adanya pemberontakan terorganisir ataupun secara individu yang melahirkan intensitas tekanan besar adalah karena hegemoni imprealisme yang mengilusi lewat tangan-tangan liciknya semacam teknologi dan media.

Hal itu mengacaukan para intelektual dewasa, membuat mereka kesulitan dalam menciptakan ekspresi yang berguna dan bermanfaat. Namun kelompok yang lebih diterpa dampak yang menjijikan ini adalah para intelektuil muda.

Kita semua hanyut di dalam sistem imprealisme itu, kita hidup di dalam tanda-tanda dan takut terhadap simbol yang diciptakan pihak penguasa, dan kita merasa terlalu malu sampai memilih hidup dalam dunia alternatif tanpa peduli terhadap penderitaan masyarakat dalam dunia realita.

Padahal, Soekarno telah meminta sepuluh saja anak muda, untuk membawa sampai bangsa ini kepada area kemerdekaan yang sesungguhnya. Sepuluh berarti sekelompok gerakan, namun juga berarti beberapa individu yang berjuang menciptakan sesuatu yang membebaskan khalayak dari kehidupan yang pahit dan bias.

Sayangnya, kaum muda hari ini memilih dungu dalam keadaan terombang-ambing, bukan lagi menyiapkan dirinya untuk menjadi umat intelektual dengan bergairah menemukan kebenaran.

Rodi Ediyansyah

Rodi Ediyansyah merupakan salah satu editor media online Lampung.co yang bertugas mencari, menyunting dan menerbitkan naskah berita atau artikel dari penulis. Kontak rhodoy@lampung.co

Related Post

Leave a Comment

Ads - Before Footer