Kolom
Kenapa Mahasiswa Pertanian Tak Ingin Jadi Petani? Ini Jawabannya
Keinginan mahasiswa IPB menjadi petani cukup rendah, yaitu sebesar rata-rata 5,65 dari 10, jauh di bawah rata-rata keinginan mereka untuk membuka bisnis di sektor lain yaitu sebesar 8,29.
9,568 kali dilihat, 34 kali dilihat hari ini

Lampung.co – Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata usia petani meningkat dari 39,9 tahun pada 2000 menjadi 45,7 tahun pada 2020. Ini menunjukkan tren penuaan tenaga kerja sektor pertanian dan rendahnya minat anak muda menjadi petani.
Sayangnya, hasil riset saya pada 577 mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) menunjukkan bahwa lulusan pertanian memiliki minat yang rendah untuk bergelut di sektor ini karena kurangnya pengetahuan mereka, rendahnya kepercayaan diri, stigma, hingga ketiadaan dukungan dari orang tua dan pendidik.
Keinginan mahasiswa IPB menjadi petani cukup rendah, yaitu sebesar rata-rata 5,65 dari 10, jauh di bawah rata-rata keinginan mereka untuk membuka bisnis di sektor lain yaitu sebesar 8,29.
Hal ini bisa menjadi ancaman karena menurut penelitian beberapa pakar, petani tua cenderung kurang produktif dan efisien serta enggan untuk mengadopsi teknologi terbaru. Indikasi ancaman ini dibuktikan dengan 4,79% penduduk Indonesia – atau setara dengan 13 juta penduduk – mengalami kerawanan pangan di tahun 2021, yang salah satunya dapat disebabkan kekurangan produksi pangan dalam negeri.
Kekurangan produksi pangan juga ditunjukkan dengan rata-rata peningkatan impor pangan sebesar 5,98% tiap tahunnya. Padahal, dengan adanya krisis global saat ini, termasuk pandemi COVID-19 dan Perang Rusia-Ukraina yang mengguncang perdagangan lintas negara, para ahli mengakui perlunya mencapai swasembada dan ketahanan rantai pasokan.
Menghadapi situasi ini, Indonesia butuh regenerasi di sektor pertanian dan lebih banyak petani muda.
Mengapa generasi muda enggan menjadi petani?
Saya menemukan beberapa faktor yang signifikan mempengaruhi keinginan mahasiswa menjadi petani.
Keakraban atau pengetahuan mahasiswa terhadap aktivitas bertani berpengaruh positif terhadap keinginan mereka menjadi petani. Rata-rata tingkat keakraban mahasiswa IPB terhadap aktivitas bertani hanya sebesar 5,83 dari 10.
Hasil tersebut mengindikasikan bahwa sekalipun mereka adalah mahasiswa di universitas pertanian, bukan berarti mereka mendapatkan pengetahuan yang cukup untuk aktivitas bertani dari kegiatan belajar di kelas. Aktivitas ini termasuk produksi pertanian di lapangan, baik dalam bercocok tanam, manajemen tenaga kerja, maupun penjualan hasil panen. Sulit bagi mereka membayangkan menjadi petani jika mereka merasa asing dengan aktivitas bertani itu sendiri.
Saya juga menemukan bahwa kepercayaan diri mahasiswa untuk mengambil risiko menjadi faktor yang signifikan di balik keinginan menjadi petani.
Hasil survei yang saya lakukan menunjukkan bahwa rata-rata skala kesediaan mahasiswa mengambil keputusan berisiko apabila mereka menjadi petani hanya berkisar di angka 5,42.
Memang, penelitian menyebutkan bahwa pekerjaan petani memiliki risiko yang lebih besar daripada pekerjaan lain. Petani harus menghadapi beragam tantangan seperti kegagalan panen karena iklim atau hama, harga yang tidak stabil di pasar, bunga dari pembayaran pinjaman, dan kecelakaan kerja dan kesehatan. Tanpa keyakinan yang tinggi untuk mengambil risiko, berat bagi generasi muda untuk memiliki aspirasi menjadi petani.
Sementara itu, dukungan dari orang tua memiliki pengaruh yang positif terhadap keinginan mahasiswa menjadi petani. Terdapat sekitar 47.5% mahasiswa yang tidak menerima dukungan dari orang tua untuk menjadi petani.
Mahasiswa yang menerima dukungan yang rendah dari orang tua kemungkinan terkait dengan faktor lain yang saya temukan berpengaruh terhadap keinginan mahasiswa menjadi petani, yaitu pendidikan ayah. Temuan saya menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan ayah, semakin rendah keinginan anaknya untuk menjadi petani. Hal ini sejalan dengan data yang saya temukan bahwa 48% mahasiswa yang ayahnya berpendidikan SMA dan universitas tidak menerima dukungan dari orang tua untuk menjadi petani.
Saya juga menghubungkan penemuan tersebut dengan faktor lain yang signifikan dalam mempengaruhi keinginan mahasiswa menjadi petani, yaitu pandangan mahasiswa terhadap pekerjaan petani adalah untuk orang yang berpendidikan rendah. Bisa jadi, karena responden adalah mahasiswa sedang menempuh pendidikan tinggi di universitas, mereka (begitu pula orang tuanya) tidak bisa membayangkan untuk menjalani profesi yang lekat dengan stigma pendidikan rendah.
Dukungan untuk tidak menjadi petani ternyata dapat diteruskan antargenerasi. Saya menjumpai mahasiswa yang keinginannya rendah juga akan tidak mendukung anak mereka di masa depan jika ingin menjadi petani.
Terakhir, saat ditanya hal apa yang dapat meningkatkan keinginan mahasiswa untuk menjadi petani, kebanyakan menekankan pentingnya akses terhadap modal dan aset. Hal ini mengindikasikan juga bahwa rendahnya keinginan mereka menjadi petani adalah karena tidak memiliki kecukupan sumber daya untuk memulai usaha bertani.
Lalu, bagaimana meningkatkan keinginan mereka menjadi petani?
Untuk meningkatkan pengetahuan dan keakraban mahasiswa terhadap aktivitas bertani, universitas dapat bekerja sama dengan petani individu maupun perusahaan untuk menawarkan program magang kepada mahasiswa. Selain membuat mahasiswa lebih akrab dengan aktivitas bertani, ini juga membuat mahasiswa memiliki sosok mentor untuk ke depannya.
Mentor juga dapat mengenalkan mahasiswa tentang keputusan berisiko apa saja yang harus diambil sebagai petani, sekaligus meningkatkan kepercayaan diri mereka untuk masuk ke sektor pertanian.
Kita juga perlu mengubah persepsi mengenai pekerjaan petani, khususnya bahwa pekerjaan ini hanya untuk mereka yang berpendidikan rendah. Persepsi tersebut harus direm supaya tidak berlanjut ke generasi berikutnya dan membuat semakin sedikit yang ingin menjadi petani.
Pemerintah bisa mulai mempromosikan kampanye bahwa penting bagi Indonesia untuk memiliki petani muda yang berpendidikan tinggi demi mendukung produksi pangan lebih produktif, efisien, dan inovatif. Upaya mengubah persepsi ini perlu mendapat dukungan penuh dari orang tua dan pendidik.
Sekitar 70% mahasiswa yang disurvei merasa mendapat dukungan dari dosen untuk menjadi petani. Dukungan tersebut secara signifikan berdampak positif terhadap keinginan mahasiswa menjadi petani. Ini perlu ditingkatkan lagi agar keinginan mahasiswa menjadi petani semakin tinggi dan dirasakan oleh semua mahasiswa.
Terakhir, pemerintah perlu meningkatkan program bantuan modal dan aset bagi mahasiswa yang ingin menjadi petani sekaligus secara gencar mempromosikan program tersebut. Sebab, peningkatan keinginan mahasiswa menjadi petani sangat diperlukan untuk menjamin keamanan pangan serta tercapainya swasembada dan ketahanan rantai pasokan.
Oleh: Lukas Bonar Nainggolan,
Researcher, Lembaga Demografi FEB UI
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation dengan judul Riset: Mahasiswa pertanian tak ingin jadi petani, apa sebabnya?
9,569 kali dilihat, 35 kali dilihat hari ini

Artikel
Mengapa Isu “Loss and Damage” Dalam COP27 Penting untuk Indonesia
Contohnya adalah tenggelamnya pulau-pulau kecil milik negara-negara kepulauan di kawasan Pasifik seperti Kiribati dan Tuvalu. Indonesia juga menghadapi ancaman serupa.
8,642 kali dilihat, 34 kali dilihat hari ini

Lampung.co – Para pemimpin dunia sedang berkumpul di Mesir untuk mengikuti konferensi iklim Perserikatan Bangsa Bangsa (Conference of Parties 27 atau COP27).
Dalam pertemuan ini, selain poin penting seputar mitigasi, adaptasi, dan pendanaan, pemimpin dunia juga turut membahas persoalan “loss and damage” atau kehilangan dan kerusakan.
Lalu apa itu loss and damage dan mengapa ini penting untuk Indonesia?
Dampak perubahan iklim
Pakar perubahan iklim dari Independent University Bangladesh, Saleemul Huq, dalam buku The Climate Book yang dibuat oleh pegiat lingkungan Greta Thunberg, memaparkan bahwa yang dimaksud dengan “loss” adalah sesuatu yang hilang secara utuh dan tidak mungkin bisa kembali. Tidak peduli berapa banyak uang yang digelontorkan untuk membuatnya lagi.
Contohnya adalah tenggelamnya pulau-pulau kecil milik negara-negara kepulauan di kawasan Pasifik seperti Kiribati dan Tuvalu. Indonesia juga menghadapi ancaman serupa. Menurut peneliti BRIN, ada 115 pulau di Indonesia yang terancam hilang atau tenggelam.
Sementara “damage” mengacu pada sesuatu yang rusak akibat bencana iklim tapi masih bisa diperbaiki, tentu saja dengan catatan jika kita punya uang dan sumber daya yang mumpuni. Pemutihan terumbu karang, kerusakan lahan pertanian akibat kekeringan panjang, dan hancurnya pemukiman serta fasilitas umum akibat banjir adalah contoh nyata kerusakan yang sedang dan akan terus dihadapi Indonesia.
Kajian dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) memprediksi Indonesia akan menanggung kerugian ekonomi yang luar biasa dalam rentang waktu 2020-2024, yaitu sebesar Rp 544 triliun atau setara dengan 31% realisasi pendapatan negara tahun 2021 yang mencapai 1.736 triliun.
Pertanyaan kemudian muncul, siapa yang akan menanggung kerugian ekonomi yang sedemikian besar? Apakah semua akan ditanggung negara? Tentu tidak, sebagian besar kerugian ini akan ditanggung sendiri oleh masyarakat rentan, seperti penduduk pesisir pantai atau para petani yang menggantungkan hidupnya pada kondisi alam.
Jalan terjal keadilan iklim
Meski tidak dapat menutup semua kerugian ekonomi, Indonesia sangat berkepentingan untuk mendapatkan kompensasi loss and damage dari negara maju untuk mengurangi pengeluaran dari anggaran negara. Karena itulah, perwakilan Indonesia di COP harus mengawal agenda pembahasan perkara ini dalam COP.
Namun, upaya membawa isu loss and damage ke meja perundingan COP bukan perkara mudah. Sudah 30 tahun lebih isu ini dibawa oleh negara berkembang. Merunut sejarahnya, isu loss and damage pertama kali dibawa oleh Vanuatu yang mewakili Aliansi Negara-Negara Kepulauan Kecil (AOSIS) pada 1991.
Saleemul Huq juga mengkritik isu loss and damage seakan menjadi hal tabu dalam negosiasi iklim internasional karena ada embel-embel kompensasi di baliknya. Negara majulah yang kerap menghindari persoalan ini. Pemenuhan janji pendanaan iklim US$ 100 miliar yang digelontorkan negara maju ke negara berkembang saja sudah berat dan sulit dicapai, apalagi ditambah ganti rugi loss and damage.
Proposal bersama koalisi negara G77 dan Cina untuk mendapatkan fasilitas pendanaan loss and damage tahun lalu juga ditolak oleh kelompok negara maju penyumbang emisi terbesar seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa di Glasgow.
Akhirnya kabar baik datang dari Mesir. Dalam COP27, ada enam negara yang mau berkomitmen untuk menyumbang pendanaan loss and damage. Mereka adalah Skotlandia, Denmark, Jerman, Austria, Irlandia, dan Belgia. Gabungan pendanaan dari enam negara ini mencapai kurang lebih US$ 265 juta.
Jumlah ini memang belum banyak. Sebab, dua ilmuwan dari Basque Center for Climate Change Spanyol Anil Markandya dan Mikel González-Eguino menaksir kerugian tak terhindarkan yang ditanggung negara-negara berkembang akibat bencana iklim diprediksi mencapai US$ 290 – 580 miliar (Rp 4.519 – 9.033 triliun) pada 2030. Angka ini akan terus meningkat hingga US$ 1.132 – 1.741 miliar (Rp 17.631 – 27.117 triliun) pada 2050.
Namun begitu, komitmen pendanaan dari enam negara maju setidaknya menjadi simbol solidaritas terhadap perjuangan negara-negara berkembang. Ini juga menjadi sindiran untuk negara maju lainnya yang masih bergeming.
Hingga saat ini, ketimpangan yang sangat besar antara komitmen pendanaan loss and damage dengan perkiraan kebutuhannya masih akan ditanggung sendiri oleh negara-negara sedang berkembang.
Saatnya bergerak
Isu loss and damage harus bisa lepas dari bayang-bayang dominasi pembicaraan mitigasi atau pengurangan emisi. Tentu saja, ambisi dan upaya negosiasi pengurangan emisi negara-negara harus terus digenjot.
Namun, perlu diingat bahwa dampak dari krisis iklim sudah di depan mata dengan semakin meningkatknya bencana iklim khususnya di negara-negara sedang berkembang.
Para pemimpin dunia juga harus memikirkan tantangan yang sedang terjadi dan turut berkontribusi meringankan beban negara-negara berkembang.
Kompensasi dari loss and damage penting untuk mewujudkan keadilan iklim bagi negara-negara berkembang. Seperti kita tahu bahwa kontribusi emisi negara-negara ini relatif lebih sedikit dibandingkan dengan emisi dari negara-negara maju sejak revolusi industri.
Sayangnya, negara-negara sedang berkembang harus menanggung kerugian dampak perubahan iklim lebih banyak.
Nicola Sturgeon, Perdana Menteri Skotlandia, juga menyayangkan ketidakadilan ini dalam pidatonya pada panel loss and damage. Ia juga menyoroti bahwa aksi nyata untuk loss and damage sangat terlambat dan mendesak negara maju untuk menyediakan pendanaan sekarang juga.
Peran Indonesia
Kucuran dana kompensasi loss and damage ke Indonesia akan meringankan beban anggaran negara untuk menanggulangi kerugian akibat bencana iklim.
Namun, pembicaraan loss and damage akan menghadapi batu terjal dalam perundingan-perundingan berikutnya. Penting bagi delegasi Indonesia dan tentunya Presiden Joko Widodo terus menyuarakan isu ini dalam perundingan COP di Mesir, Dubai (tuan rumah COP28 tahun depan) dan seterusnya.
Indonesia bisa menjadi aktor kunci untuk memperkuat koalisi G77 dengan Cina dan juga keenam negara maju yang berkepentingan terhadap isu loss and damage.
Indonesia dekat dengan negara-negara ekonomi besar dalam G20, sekaligus juga dekat dengan negara-negara G77 dan Aliansi Negara-Negara Kepulauan Kecil (AOSIS). Ini memberikan posisi strategis bagi Indonesia untuk terus menggaungkan dan menjaga momentum isu loss and damage dalam berbagai kesempatan pertemuan internasional.
Oleh: Stanislaus Risadi Apresian,
Assistant Professor of International Relations, Universitas Katolik Parahyangan
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation dengan judul Mengenal isu “loss and damage” dalam COP27 dan mengapa ini penting untuk Indonesia.
8,643 kali dilihat, 35 kali dilihat hari ini
Artikel
Derita Anak Pekerja Migran: Jadi Korban Kekerasan Seksual
Ketika mereka menjadi korban kekerasan seksual, diperparah dengan adanya ketimpangan usia dan relasi kuasa, posisi mereka justru makin terpuruk.
10,073 kali dilihat, 34 kali dilihat hari ini

Lampung.co – Anak-anak para pekerja migran Indonesia (PMI) (sebelumnya disebut tenaga kerja Indonesia) yang ditinggal orang tuanya bekerja ke luar negeri sangat rentan menjadi korban kekerasan, tidak hanya kekerasan fisik tapi juga kekerasan seksual.
Dalam kegiatan penyuluhan lapangan di Lampung Selatan pada Juli lalu, misalnya, beberapa peneliti dan akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) menemukan bahwa banyak anak PMI yang menjadi korban kekerasan, baik fisik, psikis, maupun seksual. Beberapa kasus yang banyak ditemui adalah kasus inses, perdagangan, prostitusi, dan perkawinan anak.
Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) tahun 2021 menunjukkan kekerasan seksual mendominasi jenis kekerasan yang menimpa anak-anak, yakni 46,07%, di samping jenis-jenis kekerasan lainnya seperti fisik, psikis, atau penelantaran.
Sayangnya, hingga saat ini belum ada data spesifik mengenai jumlah anak pekerja migran yang ditinggalkan. Padahal ini merupakan hal krusial untuk pengambilan kebijakan perlindungan terhadap anak pekerja migran.
Ketika melakukan sosialisasi Undang-undang (UU) Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), Tim FHUI mencoba melihat faktor penyebab rentannya anak-anak PMI mengalami kekerasan seksual di Lampung Selatan. Beberapa faktor utamanya antara lain pola pengasuhan yang tidak peka gender dan minimnya literasi keluarga terkait bentuk kekerasan seksual menjadi faktor utama kerentanan tersebut.
Pola pengasuhan yang kurang peka keadilan gender
Kebanyakan dari anak-anak PMI ditinggal oleh ibunya yang bekerja ke luar negeri. Sejauh ini, perempuan – yang juga sebagai ibu – memang mendominasi jumlah PMI.
Berdasarkan data penempatan PMI bulan Agustus 2022, dari total 21.018 penempatan, 61% PMI berjenis kelamin perempuan. Dari total penempatan itu juga, sejumlah 35% PMI berstatus menikah dan 12% berstatus cerai. Dari angka tersebut dapat diperkirakan bahwa ada sekitar 10.000 PMI perempuan yang telah menikah atau pernah menikah, dan kemungkinan besar sudah memiliki anak-anak yang harus mereka tinggalkan ketika merantau ke luar negeri.
Selama ditinggal ibunya, mayoritas anak-anak PMI tersebut mendapatkan pola pengasuhan yang tidak adil gender. Para suami atau ayah merasa pengasuhan anak yang ditinggalkan bukan menjadi tanggung jawab mereka, sehingga mereka akhirnya melimpahkan pengasuhan kepada kakek, nenek, atau keluarga dan kerabat dekat, seperti paman dan bibi, bahkan tetangga.
Pola seperti ini seringkali membuat anak-anak tersebut merasa sendirian dan kesepian. Kondisi ini kadang mendorong mereka untuk mencari pemenuhan perhatian dan kasih sayang dari lingkungan yang ada di sekelilingnya.
Inilah yang kemudian menyebabkan mereka mudah mendapat stigma negatif dari masyarakat sekitar sebagai trouble maker atau ‘centil’.
Ketika mereka menjadi korban kekerasan seksual, diperparah dengan adanya ketimpangan usia dan relasi kuasa, posisi mereka justru makin terpuruk. Mereka malah mengalami reviktimisasi (double victimization) karena alih-alih dibantu untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialami, mereka justru disalahkan atas perilaku mereka.
Dalam beberapa kasus kekerasan seksual pun pelakunya adalah ayah – biasanya ayah tiri – dari korban sendiri. Penyebabnya, kembali lagi, ketimpangan relasi kuasa dan usia, ditambah kondisi rumah yang sempit dan sepi. Sayangnya, di banyak daerah, masih banyak masyarakat yang menganggap kejadian ini sebagai masalah “privat” keluarga, sehingga pihak luar, seperti tetangga, yang mengetahuinya tidak berani menegur, apalagi melapor.
Minimnya pengetahuan akan bentuk-bentuk kekerasan seksual
Tim kami melakukan penyuluhan ke Pondok Pesantren Minhadlul ‘Ulum – di sana banyak santrinya merupakan anak PMI – dan komunitas orang tua PMI di Desa Sukadamai, Lampung Selatan.
Kami menemukan bahwa para anak-anak PMI serta orang tua dan keluarga mereka masih sangat minim pengetahuannya akan bentuk kekerasan seksual.
Ketika kami menanyakan jika salah satu dari mereka mendapatkan perlakuan cat calling atau yang mereka kenal sebagai ‘siul-siul’, biasanya bagaimana reaksi mereka. Mayoritas para santri menjawab bahwa tidak perlu ‘baper’ (dibawa perasaan) karena hal tersebut hanyalah bentuk bercandaan.
Mereka tidak tahu bahwa ‘siul-siul’ adalah salah satu bentuk kekerasan seksual non-fisik kategori catcalling yang, menurut UU TPKS, dapat dipidanakan.
Situasi semakin kompleks dengan penggunaan teknologi yang semakin pesat. Banyak dari anak-anak PMI yang sudah memiliki telepon genggam dan mengakses media sosial. Ketika kami menanyakan pendapat mereka tentang suatu komentar seksis di salah satu foto artis perempuan yang berbunyi “Waahh besar banget punya mba-nya”, mereka menganggap komentar tersebut bukan hal yang serius dan hanya ‘iseng’ sehingga tidak perlu dibesar-besarkan.
Mereka tidak paham bahwa komentar tersebut termasuk kategori Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang pelakunya juga dapat dipidana.
Masih banyak masyarakat di Indonesia, terlebih anak-anak, yang belum paham bahwa kategori kekerasan seksual dimulai dari bentuk yang paling ‘ringan’, tidak melulu soal perbuatan ekstrem.
Pengertian mereka terkait kekerasan seksual masih terasosiasikan hanya pada pemerkosaan. Padahal, kekerasan verbal atau non-fisik juga dapat menimbulkan dampak psikis yang parah.
Anggapan remeh terhadap bentuk-bentuk kekerasan seksual yang mereka anggap ‘ringan’ tersebut membuka peluang terjadinya kekerasan seksual yang lebih berat. Hal ini tentu berpengaruh pada keengganan korban untuk melapor ketika mereka merasa dirugikan, apalagi bagi anak-anak PMI yang ditinggalkan di kampung tanpa keberadaan orang tua.
Dasar hukum perlindungan anak-anak PMI
Setidaknya ada tiga aturan hukum nasional yang bisa menjadi acuan untuk melindungi anak-anak PMI, yakni UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI), UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, dan UU TPKS.
UU PPMI mengatur perlindungan bukan hanya terhadap para PMI namun juga mencakup keluarga yang mereka tinggalkan, termasuk anak. UU Perlindungan Anak lebih lanjut menjamin bahwa setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari kejahatan seksual dan kekerasan. Sementara itu UU TPKS secara lebih progresif mengatur bentuk-bentuk kekerasan seksual sampai hak-hak korban yang harus dipenuhi.
Namun, efektivitas hukum tidak hanya dipengaruhi oleh substansi hukum atau yang tertulis dalam UU, tapi juga struktur dan budaya hukum. Asumsi ‘semua orang tahu hukum’ tidak dapat menjamin keberlakuan hukum itu sendiri.
Faktor penting lain yang dapat menjamin efektivitas implementasi hukum di antaranya adalah kesiapan aparat penegak hukum untuk melaksanakan amanah UU TPKS serta jaminan bahwa mereka tidak bias gender dan sudah memiliki perspektif yang berpihak pada korban.
Bicara tentang budaya hukum, faktor yang juga harus kita perhatikan adalah seberapa kental budaya patriarki di masyarakat kita yang sering kali menempatkan perempuan atau anak di posisi yang inferior, tingkat kesadaran masyarakat untuk memperlakukan perempuan sebagai ‘subjek’, bukan ‘objek’ seksual.
Memperbaiki struktur hukum dan mengubah budaya hukum tidak semudah membalikkan telapak tangan. Harus ada sosialisasi hukum agar masyarakat lebih ‘melek’ akan substansi hukum itu sendiri.
Di sinilah akademisi hukum dapat turun berperan dalam pemberian informasi dan peningkatan kesadaran masyarakat, termasuk pada para keluarga PMI. Agar mereka paham bahwa anak-anak mereka merupakan ‘subjek hukum’ yang memiliki hak-hak yang harus dipenuhi.
Negara pun harus berperan aktif untuk memastikan bahwa setiap anak PMI yang ditinggalkan tetap mendapatkan pola pengasuhan yang layak. Masyarakat juga perlu terlibat menciptakan sistem sosial yang aman dan berperan aktif dalam mendampingi tumbuh kembang anak PMI yang ditinggalkan.
Di samping itu, pemerintah secara terpadu harus terus berupaya untuk memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan para keluarga pekerja migran. Hal ini dapat dilakukan melalui pelatihan keterampilan, atau akses pendidikan yang memadai, sehingga pada akhirnya bekerja ke luar negeri tidak menjadi satu-satunya pilihan.
Oleh: Yvonne Kezia Dhianingtyas Nafi,
Assistant lecturer, Universitas Indonesia.
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation dengan judul Derita anak pekerja migran: ditinggalkan orang tua, menjadi korban kekerasan seksual.
10,074 kali dilihat, 35 kali dilihat hari ini
Kolom
[Kolom] Tewasnya (Sumpah) Pemuda?
Sayangnya, kaum muda hari ini memilih dungu dalam keadaan terombang-ambing, bukan lagi menyiapkan dirinya untuk menjadi umat intelektual dengan bergairah menemukan kebenaran.
13,026 kali dilihat, 3 kali dilihat hari ini

Lampung.co – Pernah terpikir bagaimana kabar dan menderitanya Bung Karno di liang lahat menyaksikan bangsa yang ditinggalinya ini terkatung-katung mencari kemerdekaan yang sudah lama disiapkannya dalam fantasi kepala.
Betapa malu hati ia dikucilkan oleh dirinya sendiri, dan bisa jadi ingin sekali beliau mati lagi dengan cara yang berbeda, bunuh diri untuk bagaimanapun caranya berhenti mengingat ulang mahar yang ia beri agar bangsa ini memiliki hak menentukan dirinya sendiri.
Pengorbanan itu sudah sekedar omong kosong dianggap memang sudah mestinya terjadi, sekalipun menolak dalam pikiran. Mimpi yang akan tetap di luar realitas, berguling terbelakangi dengan laju Negeri Kepulauan India ini tanpa kepastian arah yang jelas dalam mengartikan dirinya sebagai sebuah Negara.
Negara sebagai bentuk entitas tidak nyata namun mengaku ada, sudahlah hal yang mesti menjadi penanggungjawab terhadap kebaikan, kebahagiaan, kebebasan, keadilan, kesejehteraan, keamanan, kepuasan, serta terciptanya karakter bermoral luhur bagi seluruh orang yang memberikan tanah dan alam warisannya untuk diefektifkan.
Namun, itu sebatas retorika yang digunakan kemudian berulang-ulang bagi mereka yang berhasrat menggenggam Negara. Tanpa benar menghadirkan itu.
Dalam upaya mengeluarkan dirinya dari garis batas kebohongan yang menjubahi kekuasaan ini, kebanyakan bangsa mengadu kepada kaum intelektual yang posisinya berada di tengah timbangan masyarakat.
Melalui seni berekspresi, sesuatu yang menyimpang tidak sesuai jalan tujuan diminta kembali memutar setir agar bisa melanjutkan perjalanan yang ingin dilakukan semua orang. Namun tidak semua kaum intelektual bersudi untuk melakukan pembebasan kejahatan Negara itu dengan sarana yang kompak, masalahnya mereka memilih caranya masing-masing.
Jalan yang baginya benar dan baik untuk membawa penderitaan itu runtuh digantikan kehidupan yang dinamis progresif. Maka secara diakronik, masyarakat melihat kalau orang-orang muda, pelajar khususnya, sebagai pihak yang memungkinkan untuk diharap mampu berdiri di atas kepentingan mereka karena berposisi sebagai bakal orang-orang intelektual.
Lebih lagi kaum muda merupakan orang-orang yang secara biologis memiliki tingkatan hormon yang baik dimana berarti penuh dengan daya semangat tinggi untuk membantu masyarakat yang secara pengetahuan tidak merata.
Golongan muda dengan gairah meledak-ledak yang dalam sejarahnya dapat menciptakan kepungan massa untuk menekan kokohnya kebijakan publik memang nyata bisa memenangkan pertarungan.
Lantas apa revolusi benar bisa menelurkan kehidupan ideal dan meninggalkan lingkungan memalukan. Sikap naïf kaum muda yang rela terorganisir ini jelas-jelas banyak menghasilkan kehidupan nyaman, tapi sayangnya dalam kasus Negeri ini menjadi impotensi.
Namun lebih jauh daripada itu, esensi dari sebuah pemberontakan terhadap kehidupan mapan dimana segalanya seakan absolut, tanpa mungkin digantikan menjadi penting karena mendasari kebutuhan masyarakat terutama rakyat kecil. Kebanyakan yang merasa keinginan untuk hidup bebas harus diafirmasi.
Maka sebuah perjuangan kaum intelektual yang ditawarkan para muda bisa tidak selalu dalam bentuk gerakan massa, seorang individu bisa melakukannya dalam banyak ekspresi, sastra atau musik, tontonan atau prestasi.
Pengulangan pembaharuan ilmu pengetahuan pada dasarnya bisa menjadi perlawanan terhadap imprealisme yang seenak jidat menghendaki akal piciknya. Imprealisme sudah seakan dilupakan dan mati, walau kenyataan yang hadir ia bagaikan penyakit keabadian yang mustahil dilerai di dalam peradaban dunia.
Indonesia sendiri, Negeri yang sudah terbiasa dengan cengkeram totalitas imprealisme sejak ratusan tahun berlalu, menganggap itu adalah bagian dari kehidupan.
Perasan semacam itu sayangnya tidak relevan bagi masyarakat mayoritas, rakyat-rakyat menengah bawah yang sekalipun tidak mengenal pemahaman imprealisme, namun merasakan kebebasan dan kebahagiaan yang dimilikinya begitu penuh dengan aturan yang tidak parnah dimengerti.
Begitu kuatnya, imprealisme telah menjelma sebagai objek positif yang karena menghadirkan kebebasan memperoleh informasi dari berbagai tempat di dunia dan teknologi membuat kehidupan manusia menjadi lebih baik dan mudah.
Saksikan saja, isu-isu sosial dan politik dunia yang dapat dibaca dan lihat sampai ke liang kubur seseorang, pengenalan budaya luar yang sekalipun tidak nyambung dengan nilai bangsa, serta kelaziman penggunaan jaringan internet yang sudah dianggap perlu dalam mengisi sendi kehidupan.
Hal ini tidak saja menimbulkan perasaan gelisah karena dibenturkannya dengan berbagai macam persoalan informasi, namun juga membuat ruang privat seakan aneh untuk dimiliki, lebih lagi fenomena pemujaan berlebih akan kebudayaan asing telah menciptakan realitas palsu bagi masyarakat.
Perkembangan teknologi dan juga aktivitas media membuat kehidupan masyarakat menjadi lebih baik dan mudah pada dasarnya adalah sebuah bentuk ilusi dari imprealisme. Agar dominasi penguasaan tetap tangguh tanpa khawatir timbulnya pemberontakan radikal sebagaimana di masa lalu.
Kita semua merasakan betul-betul bagaimana banyak hal ini telah dianggap mendatangkan keuntungan dalam dunia baru, dimana korupsi, perampasan lahan bakal pembangunan, tingginya harga konsumsi, meleburnya budaya luar dengan lokal.
Hingga pencitraan suatu hal tanpa fungsi yang esensial, manipulasi safari atau benda dari hasil fantasi, dan serangkaian bentuk laku yang karena ada terus menerus maka dianggap sebagai sebuah kebiasaan yang kadang kala memberi untung.
Seperti diciptakannya tempat wisata bergaya dunia fiksi yang hanya ada dalam imajinasi seorang bocah, dengan dinasaurus, pahlawan super, dan adrenalin-adrenalin irasional lainnya yang dinilai sebagai arena penting dalam menuntaskan perasaan menghibur diri dan orang terdekat.
Dimana yang dalam pemahaman Jean Baudrillard, kita hidup dalam sistem simulacra, sebuah konsep hidup yang tersimulasi dan menggantungkan tanda-tanda sebagai yang sesungguhnya dalam realitas.
Dalam suasana yang mungkin bagi sebagian orang saja, merasa sangat penting karena terucapkannya janji dan panji, yang sudah nyaris satu abad dibuncahkan, akan merasa sebagai kaum muda mereka memiliki beban yang berat dalam menyampaikan perasaan penindasan masyarakat banyak.
Apalagi untuk pembebasan yang dianggap sebuah kekonyolan hanya karena imprealisme tidak lagi dalam bentuk tradisional. Kaum muda yang dipanggil cendekia, tidak lagi memiliki hasrat untuk menciptakan sesuatu yang berguna dan manfaat karena mengaku dunia telah baik-baik saja dengan sistem yang harus didukung.
Tidak adanya pemberontakan terorganisir ataupun secara individu yang melahirkan intensitas tekanan besar adalah karena hegemoni imprealisme yang mengilusi lewat tangan-tangan liciknya semacam teknologi dan media.
Hal itu mengacaukan para intelektual dewasa, membuat mereka kesulitan dalam menciptakan ekspresi yang berguna dan bermanfaat. Namun kelompok yang lebih diterpa dampak yang menjijikan ini adalah para intelektuil muda.
Kita semua hanyut di dalam sistem imprealisme itu, kita hidup di dalam tanda-tanda dan takut terhadap simbol yang diciptakan pihak penguasa, dan kita merasa terlalu malu sampai memilih hidup dalam dunia alternatif tanpa peduli terhadap penderitaan masyarakat dalam dunia realita.
Padahal, Soekarno telah meminta sepuluh saja anak muda, untuk membawa sampai bangsa ini kepada area kemerdekaan yang sesungguhnya. Sepuluh berarti sekelompok gerakan, namun juga berarti beberapa individu yang berjuang menciptakan sesuatu yang membebaskan khalayak dari kehidupan yang pahit dan bias.
Sayangnya, kaum muda hari ini memilih dungu dalam keadaan terombang-ambing, bukan lagi menyiapkan dirinya untuk menjadi umat intelektual dengan bergairah menemukan kebenaran.
13,027 kali dilihat, 4 kali dilihat hari ini
-
Berita3 hari ago
Prakiraan Cuaca Lampung Hari Ini
-
Berita3 hari ago
Harga Emas Hari Ini, Lengkap 0,5 Gram hingga 1 Kg
-
Berita3 hari ago
Jadwal Sholat di Bandar Lampung Hari Ini
-
Berita3 hari ago
Maling Ayam, Warga Lampung Utara Diamuk Massa Hingga Tewas
-
Aplikasi5 hari ago
Panduan Lengkap Cara Cloning Aplikasi di Samsung Semua Tipe
-
Aplikasi5 hari ago
Ini Pilihan Aplikasi TikTok Download Tanpa Watermark
-
Berita7 hari ago
Komisi V DPRD Lampung Minta KPU Perbaiki Hasil Coklit
-
Lifestyle6 hari ago
Begini Cara Merawat Sneakers yang Benar Biar Awet