fbpx
Connect with us

Iqro

Beberapa Ikhtilaf Masyarakat Kontemporer dalam Bermadzhab

Masih ada beberapa lagi ikhtilaf dalam ber-madzhab yang beredar dalam tubuh masyarakat Muslim kontemporer sekitar kita

Published

on

Ikhtilaf dalam Bermazhab
Ilustrasi Ikhtilaf dalam Bermazhab | Foto: st.

Lampung dot co – Iqro | Kita sudah lebih dari 1400 tahun menjalani tanggal-tanggal berdasarkan kalender Hijriyah. Banyak di antara kaum muslimin masih berselisih mengenai permasalahan yang sebenarnya hanyalah perkara ikhtilaf. Entah itu tentang amalan ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam masih hidup maupun ketika beliau telah wafat.

Sebenarnya, apa itu ikhtilaf?

Ikhtilaf memiliki 4 penjabaran dengan dasar dan maksud yang berbeda. Pertama, ikhtilaf tanawwu’, kedua ikhtilaf tadhad, ketiga ikhtilaf mu’tabar, dan terakhir ikhtilaf ghairu mu’tabar. Untuk lebih jelasnya simak ulasan singkat berikut.

Ikhtilaf Tanawwu’

Ikhtilaf tanawwu’ bermakna khilaf atau perbedaan menurut bahasa dan pengungkapan belaka. Adapun inti dan tujuannya sama. Misalkan Anda ingin Memakan buah apel. Anda tidak harus mengupas dan membelah menjadi potongan-potongan agar bisa merasakan enaknya apel. Anda bisa mengupas dan langsung makan pun hasilnya sama. Kedua hal ini tidak berbeda, karena tujuannya sama.

Ikhtilaf Tadhad

Ikhtilaf tadhad ini merupakan perbedaan dalam agama Islam yang tidak bisa ditoleransi lagi sebab memiliki unsur pertentangan. Namun, untuk menyikapinya tentu harus memiliki landasan ilmu yang kuat. Terutama ketersediaan dalil dalam diri Anda untuk membentengi permikiran yang mungkin bisa merusak kekuatan dalil itu sendiri, andai Anda ketika itu tidak menggenggamnya.

Ikhtilaf Mu’tabar

Ikhtilaf mu’tabar adalah perbedaan yang disebabkan karena berbedanya sumber dalil dan syari’at. Tentu saja kita tidak bisa serta-merta menyanggah perbedaan itu menurut hawa nafsu. Perbedaan yang seperti ini sebaiknya kita hormati. Namun, Anda dalam menentukan mana yang hak dan batil tentu paling afdal kembali lagi pada Allah dan Rasul-Nya menurut dalil-dalilnya.

Ikhtilaf Ghairu Mu’tabar

Ikhtilaf ghairu mu’tabar adalah perbedaan yang tidak lagi bisa dianggap kebenarannya, sebab bertentanga menurut dalil, maupun derajat keilmuannya. Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah berkata, “Siapa yang mencari-cari perselisihan pada pada ulama’ untuk pendapat yang ringan/rukhshah, maka ia akan hampir atau binasa.”

Pada kenyataannya, masih banyak orang yang taklid buta dalam menyikapi ikhtilaf menurut cara berpikir mereka sendiri. Padahal hal ini bisa berakibat fatal, sebab setiap laku dalam kehidupan sudah tercatat dalam Al-Qur’an maupaun Al-Hadits. Seyogyanya kita kembali ke sana untuk memahami beberapa ikhtilaf, utamanya untuk masyarakat kontemporer dalam beribadah.

Setiap ilmu memiliki ahlinya. Begitupun dalam menyikapi perbedaan dalam beribadah. Salah satu rujukan terbaik adalah dengan menyimak pendapat para ulama’, utamanya para imam madzhab. Di kalangan kita, ada 4 madzhab yang paling diikuti, yakni Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali.

Apa itu madzhab? Secara bahasa madzhab memiliki makna sebagai tempat pergi. Dengan kata lain, karena keterbatasan ilmu yang kita miliki, tentu sebaiknya kita kembalikan ikhtilaf-ikhtilaf yang telanjur menyebar di masyarakat pada terapan hukum syar’i yang bersifat far’i maupun ijtihad yang dihasilkan dari dalil-dalil oleh seorang mujtahid secara khusus. Siapa yang memiliki kedalaman ilmu perihal ini? Tentu saja para imam madzhab.

Keempat imam itu memiliki ciri khas tersendiri dan masing-masing saling melengkapi. Bukan pertentangan. Masyarakat kita seringkali salah tafsir mengenai perbedaan dengan menggantikan kata itu jadi pertentangan. Padahal maknanya jauh sekali. Perbedaan yang ada di permukaan bumi terkait sumber hukum dalam Islam tidak boleh diserang secara brutal, karena akan berpotensi menimbulkan perpecahan. Semua permasalahan memiliki solusi, seperti mengembalikan perbedaan itu pada ahlinya.

Setidaknya dalam masyarakat kontemporer, ada beberapa hal ikhtilaf yang kerapkali diperdebatkan dan seharusnya cukup dihormati saja. Penting kita ketahui, kembali pada para imam madzhab merupakan solusi terbaik untuk hari ini. Apa saja ikhtilaf yang kerap terjadi?

Turun Ketika Hendak Sujud

Beberapa kalangan mengklaim turun ketika hendak sujud sebaiknya lutut lebih dulu yang jatuh ke bumi. Sebagian lagi bilang, tangan dulu. Keduanya ini memiliki porsi yang sama dengan tujuan yang sama, sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam melakukan keduanya.

Posisi Telunjuk Ketika Tasyahud

Tidak perlu lagi ada pertentangan ketika ada sebagian umat Islam ketika tasyahud, ia menggerak-gerakkan telunjuk, maupun yang tuma’ninah. Kedua-duanya memiliki lisensi dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam sendiri. Beliau melakukan keduanya dalam waktu dan tempat yang berbeda.

Zikir Memakai Tasbih

Syekh Utsaimin membolehkan kaum muslimin memakai tasbih ketika berzikir dan bukanlah termasuk dari bagian bid’ah. Sebab, bid’ah merupakan perbuatan yang jelas-jelas dilarang oleh agama. Sementara penggunaan tasbih ketika berzikir hanya untuk menghitung jumlah zikir agar tidak lupa.

Masih ada beberapa lagi ikhtilaf yang beredar dalam tubuh masyarakat kontemporer tempat kita berada. Setidaknya dengan uraian di atas, Anda jadi lebih bisa memahami beberapa khtilaf dalam ber-madzhab, sehingga ke depannya Anda akan lebih memprioritaskan kembali pada ahlussunnah wal’jamaah untuk memutuskan sebuah perkara itu hak ataupun batil.

Wallahu a’lam bish-shawab

Rodi Ediyansyah merupakan salah satu editor media online Lampung.co yang bertugas mencari, menyunting dan menerbitkan naskah berita atau artikel dari penulis. Kontak rhodoy@lampung.co

Doa

Lima Versi Bacaan Doa Iftitah: Arab, Latin dan Artinya

Doa Iftitah memiliki beberapa versi, namun hal itu tidak mengubah makna dasar doa tersebut yakni menumbuhkan kesadaran akan kebesaran dan keagungan Tuhan.

Published

on

Sholat Subuh
Ilustrasi Sholat | Foto: Ist.

Lampung dot co – Iqro | Doa Iftitah adalah salah satu doa penting dalam ibadah shalat dalam agama Islam. Doa ini merupakan ibadah sunnah yang diamalkan dalam sholat setelah takbiratul ihram dan sebelum membaca ta’awudz dalam setiap sholat fardhu ataupun sholat sunnah kecuali sholat jenazah dan Idul Fitri, atau Idul Adha.

Doa Iftitah memiliki beberapa versi, namun hal itu tidak mengubah makna dasar doa tersebut yakni menumbuhkan kesadaran akan kebesaran dan keagungan Tuhan.

Doa Iftitah Versi 1

Arab

اَللهُ اَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ لِلّهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَاَصِيْلًا. اِنِّى وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَالسَّمَاوَاتِ وَالْاَرْضَ حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا اَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ. اِنَّ صَلَاتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ لِلّهِ رَبِّ الْعَا لَمِيْنَ. لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَبِذَلِكَ اُمِرْتُ وَاَنَا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ

Latin

“Allaahu akbar kabiraa walhamdulillaahi katsiiraa, wa subhaanallaahi bukratan wa’ashiilaa. Innii wajjahtu wajhiya lilladzii fatharas samaawaati wal ardha haniifan musliman wa maa anaa minal musyrikiin. Inna shalaatii wa nusukii wa mahyaaya wa mamaatii lillaahi rabbil ‘aalamiin. Laa syariikalahu wa bidzaalika umirtu wa ana minal muslimiin.”

Artinya

“Allah Maha Besar dengan sebesar-besarnya, segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak. Maha Suci Allah pada waktu pagi dan petang. Sesungguhnya aku hadapkan wajahku kepada Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dengan segenap kepatuhan atau dalam keadaan tunduk, dan aku bukanlah dari golongan orang-orang yang menyekutukan-Nya. Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan Semesta Alam, yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Dengan yang demikian itulah aku diperintahkan. Dan aku adalah termasuk orang-orang muslim.”

Doa Iftitah Pendek Versi 2

Terdapat juga doa iftitah pendek. Berdasarkan hadist riwayat Abu Daud, Rasulullah pernah mengamalkan doa iftitah ini.

Arab

اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلاً وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلاً وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلاً أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ مِنْ نَفْخِهِ وَنَفْثِهِ وَهَمْزِهِ

Latin

“Allahu akbar kabiiro, allahu akbar kabiiro, allahu akbar kabiiro, walhamdulillahi katsiiro, walhamdulillahi katsiiro, walhamdulillahi katsiiro, wa subhanallahi bukrotaw washilaa, wa subhanallahi bukrotaw washilaa, wa subhanallahi bukrotaw washilla a’udzu billahi minasy syaithooni min nafkhihi, wa naftshihi, wa hamzih.”

Artinya

Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak. Maha Suci Allah di waktu pagi dan sore. Maha Suci Allah di waktu pagi dan sore. Maha Suci Allah di waktu pagi dan sore. Aku berlindung kepada Allah dari tiupan, bisikan, dan godaan setan.

Versi 3

Rasulullah SAW juga membaca doa iftitah pendek lainnya seperti hadist riwayat Bukhari, dan Muslim.

Arab

اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنْ خَطَايَايَ كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنْ الدَّنَسِ اللَّهُمَّ اغْسِلْنِي مِنْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ

Latin

“Allahumma baa’id bainii wa baina khathaayaaya kamaa baa’adta bainal masyriqi wal maghrib. Allahumma naqqinii minal khathaayaa kamaa yunaqqatsawbul abyadlu minaddanasi. Allahummaghsil khathaayaaya bil maai watstsalji walbaradi.”

Artinya

Ya Allah, jauhkan lah antara aku dan kesalahan-kesalahanku, sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, bersihkan lah aku dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana baju putih dibersihkan dari kotoran. Ya Allah, cuci lah aku dari kesalahan-kesalahanku dengan air, salju dan embun.

Versi 4

Doa iftitah ini dibaca ketika Rasulullah SAW melakukan sholat malam. Hal tersebut berdasarkan hadist riwayat Muslim.

Arab

اللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرَائِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ فَاطِرَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ اِهْدِنِى لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ تَهْدِى مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

Latin

“Allahumma robba jibroo-iila wa mii-ka-iila wa isroofiila, faathiros samaawati wal ardhi ‘aliimal ghoibi wasy syahaadah anta tahkumu bayna ibaadika fiimaa kaanuu fiihi yakhtalifuun, ihdinii limakhtulifa fiihi minal haqqi bi-idznik, innaka tahdi man tasyaa-u ilaa shirootim mustaqiim.”

Artinya

Ya Allah, Rabbnya Jibril, Mikail dan Israfil. Wahai Pencipta langit dan bumi. Wahai Rabb yang mengetahui yang ghaib dan nyata. Engkau yang menjatuhkan hukum untuk memutuskan apa yang mereka pertentangkan. Tunjukkan lah aku pada kebenaran apa yang dipertentangkan dengan seizin dari-Mu. Sesungguhnya Engkau menunjukkan pada jalan yang lurus bagi orang yang Engkau kehendaki.

Versi 5

Arab

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ

Latin

“Subhaanakallahumma wa bi hamdika wa tabaarakasmuka wa ta’aalaa jadduka wa laa ilaaha ghairuk.”

Artinya

Maha suci Engkau ya Allah, aku memuji-Mu, Maha berkah Nama-Mu. Maha tinggi kekayaan dan kebesaran-Mu, tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar selain Engkau.

Makna Doa Iftitah

Makna doa Iftitah mencerminkan kesadaran akan kebesaran dan keagungan Tuhan. Doa ini mengajarkan untuk membuka setiap ibadah sholat dengan penuh kesadaran akan kehadiran Allah serta keinginan untuk memperoleh rahmat-Nya. Doa Iftitah menjadi sarana untuk mengokohkan komitmen kita dalam mendekatkan diri kepada-Nya, membuka hati untuk menerima petunjuk-Nya, dan merasakan kehadiran-Nya dalam setiap langkah kehidupan.

Pentup

Doa Iftitah adalah wujud dari kepatuhan dan penghambaan kepada Sang Pencipta. Dengan membaca doa ini, umat Muslim diingatkan akan pentingnya menjalin hubungan yang erat dengan Allah dan merasakan kedekatan spiritual yang mendalam.

Wallahu a’lam bish-shawab

Continue Reading

Iqro

Hukum Membaca Al-Qur’an di Kuburan Menurut 4 Imam Mazhab

Pertanyaan berikutnya, apakah hukum membaca Al-qur’an di sisi kubur itu boleh dilakukan? Untuk menjawab pertanyaan ini, sebaiknya kita kembalikan lagi ke asalnya. Tentu saja kembali pada Al-qur’an dan Al-hadits.

Published

on

Hukum Membaca Al-Qur'an di Kuburan
Ilustrasi Membaca Al-Qur'an di Kuburan | Foto: Ist.

Lampung dot co – Iqro | Pemakaman bahagia ialah pemakaman yang sering dikunjungi. Orang yang sudah meninggal dunia, ia juga meninggalkan apa-apa yang ia miliki di dunia. Merasa kesepian, sendirian, tiada teman, tiada orang untuk diajak mengobrol. Yang tersisa di dunia hanyalah buah amal dan keluarga. Alangkah beruntung ketika seseorang yang meninggal dunia, ia masih memiliki keluarga yang rajin mengunjungi rumah barunya.

Alangkah tidak beruntung, ketika ia meninggal dunia, keluarga malah ribut soal harta warisan. Kondisi makam tak terawat dan daun-daun yang berguguran ke permukaan makamnya tiada yang membersihkan. Kondisi makam yang serupa ini tak terhitung lagi jumlahnya. Kehujanan pun tiada peduli. Seolah-olah ia tidak ada dan tidak pernah terlahir ke dunia.

Tentang Ziarah Kubur Musiman

Paling tidak, kita pernah atau kerap melihat kegiatan ziarah musiman. Apa itu ziarah musiman? Tak bukan dan tak lain adalah ziarah yang dilakukan setahun sekali, misalkan pada waktu menjelang masuk bulan Ramadhan. Kebiasaan ini belum luntur di beberapa daerah. Anak-ayah pergi ke kuburan. Mereka membaca Al-qur’an, bershalawat, dan juga membersihkan area sekitar.

Bukankah itu pemandangan yang indah? Meskipun hanya setahun sekali, penghuni kubur tentu akan senang karena beban azab mereka diringankan oleh keluarga sendiri. Mungkin mereka saat itu sedang dipalu, dicacah, disembelih, ditusuk, dirayapi ular ganas yang beracun, dan beragam siksaan yang tersedia. Namun, berkat doa dan bacaan Al-qur’an dari anak dan cucu, ia bisa bernapas lega karena untuk sementara siksaan itu terhenti.

Kalau saja ia bisa bicara, tentu yang diucapkan pertama kali adalah ungkapan terima kasih. Membaca Al-qu’an dan berdoa termasuk kegiatan yang ringan di lidah, tapi berat di niat. Siapa yang bisa melewati hal ini, tentu ia termasuk manusia-manusia pilihan. Sebab, lebih banyak orang yang bicara harta dan dunia daripada kematian dan akhirat. Sementara doa dan membaca Al-qur’an tidak bisa dikomersilkan.

Hukum Membaca Al-Qur’an di Kuburan

Pertanyaan berikutnya, apakah hukum membaca Al-qur’an di sisi kubur itu boleh dilakukan? Untuk menjawab pertanyaan ini, sebaiknya kita kembalikan lagi ke asalnya. Tentu saja kembali pada Al-qur’an dan Al-hadits. Sebab, dua warisan terindah dari Rasulullah Saw hanya dua pegangan itu.

Dari Abdullah ibnu Umar, ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah bersabda: ‘Apabila salah seorang dari kalian meninggal dunia, maka janganlah kalian menahannya, segerakan ia ke kuburnya, bacakan di sisi kubur dengan Al-Fatihah dan di sisi kedua kakinya dengan akhir surat Al-Baqarah”. (HR. At-tabrani)

Seorang mayat yang jasadnya ditahan-tahan di rumah, hal itu akan menyulitkan proses penyatuan kembali ke tanah. Apabila mayat itu meninggal dunia akibat penyakit yang bisa menular, tentu akan berdampak buruk terhadap lingkungan. Lagi pula hal itu jelas berseberangan dengan perintah Rasulullah Swa. Kita diciptakan dari tanah, dan ketika meninggal, akan kembali pula ke tanah. Semakin cepat semakin baik.

Pendapat 4 Imam Mazhab

Imam Syafi’i dan para ulama lainnya yang ber-madzhab Syafi’i berpendapat bahwa membaca sebagaian dari Al-qur’an di sisi kubur itu sangat dianjurkan. Misal, seperti di hadits di atas: surat Al-Fatihah dan akhir surat Al-Baqarah. Namun, apabila ada di antara peziarah yang mampu mengkhatamkan Al-qur’an secara keseluruhan pada saat itu juga, maka hal itu lebih utama.

Para ahli fikih telah berpendapat tentang hukum membaca Al-qur’an di sisi kubur. Menurut madzhab Syafi’i dan Imam Muhammad bin Al-Hasan hukumnya dianjurkan, disebabkan sifat keberkahan yang dimiliki Al-qur’an itu sendiri. Menurut Imam Ahmad bin Hambal hukumnya boleh. Sementara menurut Imam Maliki dan Imam Hanafi hukumnya makruh.

Pendapat para ulama

Dari banyaknya pendapat ulama yang membolehkan bacaan Al-qur’an di sisi kubur menjadi sinyal bagus untuk kita agar bisa meringankan beban azab yang dipikul oleh para penghuni kubur, misal kakek kita. Tapi, lebih banyak mana, orang yang berziarah atau yang tidak peduli dengan kegiatan ziarah?

Wallahu a’lam bish-shawab

Continue Reading

Iqro

Menghadiahkan Bacaan Al Qur’an untuk Mayit, Apakah Pahalanya Sampai?

Dalam perkembangannya, terjadi gesekan yang cukup populer di tubuh umat Islam terkait sampai atau tidaknya pahala akibat membacakan Al-qur’an pada orang yang sudah meninggal dunia.

Published

on

Membaca Al Qur'an untuk Mayit
Ilustrasi Membaca Al Qur'an | Foto: Ist.

Lampung dot co – Iqro | Dalam masyarakat kita, mengirim bacaan Al-qur’an untuk orang yang sudah meninggal itu sudah lumrah adanya. Hal yang sering dilakukan antara lain mengirim surat Al-Fatihah yang dalam intro-nya dikhususkan untuk arwah si fulan dan si fulan. Utamanya adalah ketika datang malam Jum’at.

Namun, dalam perkembangannya, terjadi gesekan yang cukup populer di tubuh umat Islam terkait sampai atau tidaknya pahala akibat membacakan Al-qur’an pada orang yang sudah meninggal dunia.

Apakah pahala dari membacakan ayat-ayat Al-qur’an untuk si arwah atau mayit itu benar-benar sampai dengan niatan dikhususkan? Atau apakah pahala itu tetap hanya untuk pembacanya saja? Ikhtilaf pada poin ini sebaiknya dikembalikan pada yang lebih tahu.

Kita tidak bisa memutuskan sesuatu begitu saja berdasarkan penafsiran sendiri. Apa pendapat para ‘alim-ulama terkait hal ini? Simak uraian di bawah ini. Semoga bisa menjadi rujukan yang baik untuk Anda.

Pendapat Imam Ibnu Taimiyah

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa dengan membacakan Al’quran untuk orang yang sudah meninggal dunia pahalanya akan tetap sampai. Hal ini menjadi sejalan dengan doa, istighfar, dan shalat jenazah yang dilakukan seseorang terhadap orang lain (yang sudah meninggal).

Beliau memiliki cenderung terhadap hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim berikut. Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa yang meninggal dunia, sedangkan ia masih memiliki kewajiban berpuasa, maka walinya melaksanakan puasa untuknya.”

Hadits tersebut diragukan oleh ayat Al-qur’an dalam surat An-Najm ayat 39: “Dan bahwasanya manusia tiada memperoleh selain dari apa yang telah diusahakannya.” Memang benar bahwa setiap usaha manusia hanya mendapat pahala dari apa yang diusahakannya.

Namun, dalam kacamata lain, kita sudah sering melihat doa seseorang untuk orang lain yang telah meninggal. Apakah yang menerima manfaat hanya si pelantun? Bahkan hal ini juga semakin diteguhkan dalam ayat Al-qur’an.

“Dan orang-orang yang datang setelah mereka (kaum Muhajirin dan kaum Anshar) pun berdoa: ‘Ya Allah, berilah ampun pada kami dan saudara-saudara kami yang lebih dahulu beriman dari kami, dan janganlah Kau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang yang beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang’.” (QS. Al Hasyr: 10)

Menurut Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah

Terkait hal ini, ulama besar, Imam Ibu Qayyim Al-Jauziyah memiliki pendapat yang sama dengan Imam Ibnu Taimiyah. Beliau berpendapat bahwa membacakan Al-qur’an untuk orang yang sudah meninggal dunia dengan sukarela, maka pahalanya akan sampai sebagaimana pahala puasa dan haji yang ditunaikan untuk menetapi nazar dan hutang si mayat.

Pemikiran Syakh Ibnu Utsaimin

Beliau berpendapat, ada yang lebih afdal daripada membacakan Al-qur’an untuk orang yang sudah meninggal. Apa itu? Dengan doa. Semua ulama tiada ikhtilaf soal ini. Sebab, telah terangkum dengan jelas dalam hadits berikut.

Rasulullah SAW bersabda: “Ya Allah, ampunilah orang-orang yang masih hidup dan orang-orang yang sudah meninggal dunia di antara kami.” (HR. At-Tirmidzi).

Kesimpulan

Berdasarkan tiga pendapat di atas, membacakan Al-qur’an untuk si mayat tetap akan bermanfaat terhadapnya. Namun dengan dasar sukarela tanpa upah sama sekali. Dengan kata lain, pembacaan Al-qur’an itu tidak ada unsur bayar-membayar atau sewa-menyewa jasa orang pintar agar membacakan Al-qur’an untuk si arwah.

Hal ini sudah termasuk dalam menjual agama demi dunia. Dan ini bukan perkara baik untuk diteladani, meskipun sudah lumrah adanya. Namun, hal tersebut pun juga bisa menjadi ikhtilaf di antara kalangan masyarakat.

Sebab, masih ada orang yang sampai sekarang belum bisa membaca Al-qur’an, sementara ia ingin menghadiahkan pahala dari ayat Al-qur’an untuk orang yang sudah meninggal seperti kemauannya.

Dalam problematika ini, sangat dianjurkan untuk bertolak pada pendapat Syaikh Ibnu Utsaimin, yakni berdoa lebih baik. Adakah manusia di bumi ini yang tidak bisa memanjatkan doa pada Allah Swt? Rasanya tidak ada.

Penutup

Demikian uraian singkat mengenai tiga pendapat para ulama yang menyoal sampai-tidaknya pahala membacakan ayat-ayat Al-qur’an untuk orang yang telah meninggal. Namun lebih jauh disampaikan, bahwa perselisihan antar umat Islam akan selalu ada hingga hari Kiamat.

Manakah yang lebih baik, apakah perbedaan pendapat dengan cara menonjolkan urat, ataukah dengan cara-cara santun sebagaimana teladan Rasulullah Saw? Tentu saja pilihan kedua lebih baik.

Wallahu a’lam bish-shawab

Continue Reading

Banyak Dibaca