fbpx
Connect with us

Adat Budaya

Nama Pakaian Adat Lampung Saibatin dan Pepadun

Untuk pakaian adat, ada perbeadaan antara pakaian adat Saibatain dan pakaian adat Pepadun. Perbedaan yang paling terlihat adalah pada warna pakaian. Pakaian adat Lampung Pepaduan didominasi warna putih, sedangkan untuk pakaian adat Lampung Saibatin didominasi oleh warna merah.

Published

on

Pakaian Adat Lampung
Pakaian Adat Lampung | Foto: Ist.

Lampung.co – Pakaian adat menjadi salah satu identitas dan kebanggan bagi suatu daerah. Tak terkecuali juga pakaian adat Lampung yang dibanggakan oleh masyarakat Lampung khususnya suku Lampung. Ada dua macam pakaian adat di Lampung yang dikenal secara luas yakni Pakaian adat Saibatin dan Pepadun.

Msyarakat adat Lampung Sibatin atau yang juga disebut dengan Pesisir adalah mereka yang tinggal di daerah pesisir Lampung. Saibatin mendiami daerah pesisir Lampung yang membentang dari timur, selatan, hingga barat. Wilayah persebaran Suku Saibatin mencakup Lampung Timur, Lampung Selatan, Bandar Lampung, Pesawaran, Tanggamus, dan Lampung Barat serta Pesisir Barat.

Sedangkan untuk masyarakat adat Lampung Pepadun mendiami daerah pedalaman atau daerah dataran tinggi Lampung. Berdasarkan sejarah perkembangannya, masyarakat Pepadun awalnya berkembang di daerah Abung, Way Kanan, dan Way Seputih (Pubian).

Untuk pakaian adat, ada perbeadaan antara pakaian adat Saibatain dan pakaian adat Pepadun. Perbedaan yang paling terlihat adalah pada warna pakaian. Pakaian adat Lampung Pepaduan didominasi warna putih, sedangkan untuk pakaian adat Lampung Saibatin didominasi oleh warna merah. Siger yang dikenakan oleh pengantin wanita Saibatin berbeda dengan pengantin wanita Pepadun, dengan lekukan tajam berjumlah tujuh buah juga menjadi salah satu pembeda yang mencolok.

Tujuh pucuk ini melambangkan tujuh adog, adalah suttan, raja jukuan/depati,radin, batin, minak, mas dan kimas. Selain itu, terdapat juga yang dinamakan awan gemisir (awan gemisikh) yang perkirakan digunakan sebagai bagian dari budaya arak-arakan adat, diantaranya seperti acara pernikahan. Itulah dua perbedaan yang paling mencolok, selaian itu kedua jenis pakaian ini terlihat serupa atau mirip.

Pakaian adat Lampung Saibatin dan Pepadun ini diginakan saat pernikahan. Mempelai pria menggunakan pakaian yang lebih simpel dibangingkan wanita. Berikut ini adalah pakaian adat yang digunakan saat pernikahan.

1. Pakaian Adat Lampung Pria

Berupa lengan panjang berwarna putih, celana panjang hitam. Sarung tumpal, sesapuran dan khika akhir. Pakaian ini dilengkapi dengan beragam aksesoris, pernik perhiasan. Setidaknya terdapat delapan perhiasan yang umumnya dikenakan oleh pengantin laki-laki diantaranya:

  • Kalung Papan Jajar: Berupa tiga lempengan siger kecil/perahu yang disusun dengan ukuran yang berbeda. Makna dari kalung ini yakni simbol kehidupan baru yang akan mereka jalani serta dilanjutkan secara turun temurun ke anak cucu mereka.
  • Kalung Buah Jukum: Berupa rangkaian miniatur buah jukum sebagai simbol do’a supaya mereka segera mendapat keturunan.
  • Selempeng Pinang: kalung panjang yang berupa gantungan menyerupai buah atau seperti bunga.
  • Ikat Pinggang: ikat pinggang ini dilengkapi dengan terapang (keris) yang merupakan senjata tradisonal khas Lampung.
  • Gelang Burung: gelang pipih dilengkapi dengan aksesoris berbentuk burung garuda terbang.
  • Gelang Kano: gelang ini dikenakan pada lengan kiri dan kanan di bawah gelang burung.
  • Gelang Bibit: yakni sebuah gelang yang dipakaikan di bawah gelang Kano. Gelang ini melambangkan do’a yang maknanya hampir sama atau bahkan sama dengan kalung buah jukum yaitu agar segera mendapat keturunan.

2. Pakaian Adat Lampung Wanita

Pakaian pengantin wanita tidak jauh berbeda dengan pakaian pengantin laki-laki. Sarung tapis, sesapuran hingga khikhat akhir juga terdapat dalam pakaian pengantin wanita. Namun yang membedakan adalah tambahan pakaian atau aksesoris yang menambah nilai eksotis pakaian wanita ini. Beberapa aksesoris yaitu selappai, katu tapi dewa sano dan bebe.

Selappai merupakan baju yang tidak memiliki lengan dan memiliki hiasan rumbai ringgit pada bagian tepi bawahnya. Bebe merupakan sulaman benang dari satin yang menyerupai bunga teratai yang mengambang. Sedangkan kati tapis dewa sano merupakan rumpai ringgit yang terbuat dari kain tapis jung jarat. Ada beberapa aksesoris tambahan yang digunakan oleh pengantin. Berikut adalah beberapa aksesoris yang digunakan oleh pengantin wanita.

  • Siger: siger atau dalam bahas Indonesia disebut mahkota yang terbuat dari emas. Siger merupakan mahkota khas yang sering digunakan oleh pengantin wanita.
  • Seraja bulan: mahkota kecil yang terlerak diatas siger.
  • Subang: perhiasan yang digantungkan di ujung daun telinga. Biasanya berbentuk buah kenari yang terbuat dari emas.
  • Perhiasan dada dan leher: perhiasan yang dikenakan di dada dan leher berupa kalung ringgit, kalung jukum dan kalung papanjajar.
  • Perhiasan pinggan dan lengan: perhiasan yang dikenakan dipinggang berupa selempang pinang yang digantungkan dari bahu ke punggan dan sebuah ikat pinggang dari kain beludru berwarna merah dengan hiasan kelopak bunga dari kuningan. Sedangkan perhiasan lengan berupa gelang kano, gelang burung, gelang duri dan gelang bibit yang memilik makna sama dengan aksesoris laki-laki.

Itulah informasi terkait nama pakaian adat Lampung Saibatin dan Pepadun, semoga bisa menjadi referensi anda.

Tim Redaksi media online Lampung.co menerbitkan berita-berita khusus, termasuk berita advertorial. Hubungi tim redaksi melalui email redaksi@lampung.co atau WhatsApp 0811-790-1188

Adat Budaya

Ada Hubungan Antara Kerajaan Tulang Bawang dengan Prasasti Hujung Langit?

L.C. Damais kemudian mengidentifikasi P’o-huang dengan sebuah nama tempat yaitu Bawang, di desa Hanakau, kecamatan Sukau, kabupaten Lampung Barat. Di tempat tersebut terdapat sebuah Prasasti Bawang, nama lain dari Prasasti Hujung Langit

Published

on

Prasasti Hujung Langit
Prasasti Hujung Langit | Foto: Ist.

Lampung.co – Informasi tentang kerajaan Tulang Bawang banyak bersumber dari sejarah Cina. Berita Cina tertua yang berkaitan dengan daerah Lampung berasal dari abad ke-5, yaitu dari kitab Liu-sung-Shu, sebuah kitab sejarah dari masa pemerintahan Kaisar Liu Sung (420– 479).

Dalam buku itu terungkap bahwa pada tahun 499 M sebuah kerajaan yang terletak di wilayah Nusantara bagian barat bernama P’u-huang atau P’o-huang mengirimkan utusan dan barang-barang ke negeri Cina. Kerajaan P’o-huang disebut menghasilkan lebih dari 41 jenis barang yang diperdagangkan ke Cina.

Hubungan diplomatik dan perdagangan antara Kerajaan P’o-huang dan Cina berlangsung terus sejak pertengahan abad ke-5 hingga abad ke-6, seperti halnya dua kerajaan lain di Nusantara yaitu Kerajaan Ho-lo-tan dan Kan-t’o-li yang disinyalir berada di Provinsi Jambi saat ini.

Sementara itu, sumber sejarah Cina lain, yaitu kitab T’ai-p’ing- huang-yu-chi yang ditulis pada tahun 976–983 M, disebutkan bahwa terdapat sebuah kerajaan bernama T’o-lang-p’p-huang.

Terdapat juga catatan Cina yang kuno menyebutkan pada pertengahan abad ke-4 seorang pejiarah Agama Budha yang bernama Fa-Hien, pernah singgah di sebuah kerajaan yang makmur dan berjaya, To-Lang P’o-Hwang di pedalaman Chrqse (diduga sebagai pulau Sumatera).

Baik Kerajaan P’o-huang yang termaktub dalam kitab Liu-sung-Shu maupun T’o-lang-p’p-huang yang disebut dalam kitab T’ai-p’ing- huang-yu-chi semuanya tertuju pada kejaraan Tulang Bawang. Namun lokasi Kerajaan Tulang Bawang belum dapat dibuktikan dengan pasti hingga kini.

Seorang sejarawan Perancis, G. Ferrand menyarankan T’o-lang-p’p-huang diidentifikasikan dengan Tulang Bawang yang terletak di daerah pantai tenggara Pulau Sumatera, di selatan sungai Palembang (Sungai Musi).

Menurut arkeolog berkebangsaan Prancis Louis-Charles Damais atau L.C. Damais menyebut lokasi T’o-lang P’o-huang terletak di tepi pantai seperti dikemukakan di dalam Wu-pei-chih (petunjuk pelayaran dari Cina) (sumber).

L.C. Damais kemudian mengidentifikasi P’o-huang dengan sebuah nama tempat yaitu Bawang, di desa Hanakau, kecamatan Sukau, kabupaten Lampung Barat. Di tempat tersebut terdapat sebuah Prasasti Bawang, nama lain dari Prasasti Hujung Langit (sumber).

Prasasti yang bertempat di sekitar Situs Harakuning dan berangka tahun 919 Saka (=997 M) ini dikeluarkan oleh Punku Haji Yuwa Rajya Sri Haridewa ditulis menggunakan huruf Kawi varian Sumatera Kuno dan Bahasa Melayu Kuno.

Berdasarkan beberapa kata yang masih dapat terbaca, isi prasasti adalah mengenai penetapan sebidang tanah di Hujung Langit sebagai sima oleh Pungku Haji Yuwarajya Sri Haridewa, untuk dipergunakan membiayai pemeliharaan suatu bangunan suci (sumber).

Nama Hujuŋg Langit sendiri tidak tercantum dalam peta maupun sumber-sumber lain. Namun disebelah Timur Laut Prasasti Hujung Langit ada sebuah desa yang bernama Hujung, termasuk dalam kecamatan Belalau, kabupaten Lampung Barat.

Kemudian L.C. Damais pun menduga, sebidang tanah di Hujung Langit yang dimaksud dalam prasasti tersebut adalah pekon/desa Hujung tersebut (sumber).

Continue Reading

Adat Budaya

Baju Adat Lampung Modern Pepadun dan Saibatin

Baju adat Lampung modern yang dikenakan saat acara pernikahan oleh pengantin sebenarnya tidak jauh berbeda dengan bentuk atau model lama. Beberapa perlengkapan pakaian adat ini masih sama dengan perlengkapan pakain jaman dulu.

Published

on

Baju Adat Lampung Modern
Baju Adat Lampung Modern | Foro : instagram.com/@ligartphotography

Lampung.co – Agar tidak monoton dan sesuai perkembangan jaman, baju adat ini didesain dengan gaya modern yang sangat fashionable. Termasuk juga pada baju adat Lampung modern Pepadun dan Saibatin yang ada di Lampung.

Pada penggunaan jaman sekarang ini, baju adat Lampung yang modern lebih simpel dan elegan. Namun kendati demikian tidak merubah dan mengurangi aksesoris yang dipasang di beberapa bagian tubuh.

Jaman dahulu mungkin baju atau pakaian adat Lampung menjadi baju paling diunggulkan, namun seiring majunya jaman, penggunaannya tergeser. Untuk menjaga agar tidak hilang dan lestari, hendaknya memang digunakan. Misal digunakan saat acara-acara penting seperti pernikahan atau upacara adat.

Namun kadang baju adat terkesan ribet dan juga monoton yang membuat kita enggan untuk memamkainya. Padahal memakai baju adat adalah salah satu upaya untuk melestarikan budaya daerah. Untuk mengantisipasi keengganan mengenakan baju adat yang terkesan kuno dan monoton, diciptakanlah baju adat yang modern.

Baju adat Lampung modern yang dikenakan saat acara pernikahan oleh pengantin sebenarnya tidak jauh berbeda dengan bentuk atau model lama. Beberapa perlengkapan pakaian adat ini masih sama dengan perlengkapan pakain jaman dulu.

Ada sedikit perbedaan baju adat Lampung antara Pepadun dan Saibatin untuk pakaian adat. Perbedaan yang paling terlihat adalah pada warna pakaian. Baju adat Lampung Pepaduan didominasi warna putih, sedangkan untuk baju adat Lampung Saibatin didominasi oleh warna merah.

Perbedaan ini juga telah ada sejak dulu. Kini Baju adat Lampung modern ini sudah memiliki ragam warna, tak hanya merah dan putih saja ada warna-warna lain yang kemudian menjadikan lebih menarik dan indah.

Untuk siger yang dikenakan oleh pengantin wanita Saibatin pun berbeda dengan pengantin wanita pepadun. Pengantin wanita Saibatin mengenakan siger dengan lekukan tajam berjumlah tujuh buah juga menjadi salah satu pembeda yang mencolok.

Tujuh pucuk ini melambangkan tujuh adog, adalah suttan, raja jukuan/depati, radin, batin, minak, mas dan kimas. Selain itu, terdapat juga yang dinamakan awan gemisir (awan gemisikh) yang perkirakan digunakan sebagai bagian dari budaya arak-arakan adat, diantaranya seperti acara pernikahan.

Sedangkan siger yang dikenakan oleh pengantin wanita Pepadun memiliki sembelian lekukan di bagian atasnya. Itulah dua perbedaan yang paling mencolok, selaian itu kedua jenis pakaian ini terlihat serupa atau mirip.

Untuk baju adat Lampung modern yang dikenakan pria lebih simpel dibanding baju adat wanita. Pakaian Adat Lampung Pria berupa lengan panjang berwarna putih, celana panjang hitam. Sarung tumpal, sesapuran dan khika akhir.

Pakaian ini dilengkapi dengan beragam aksesoris, pernik perhiasan. Beberapa aksesoris yang ditambahkan dibaju adat pria ini yakni gelang, ikat pinggang, kalung, senjata tradisional Lampung, selempang dan kopiah emas.

Sedangkan untuk baju adat Lampung modern pengantin wanita berupa sarung tapis, sesapuran hingga khikhat akhir juga terdapat dalam pakaian pengantin wanita. Namun yang membedakan adalah tambahan pakaian atau aksesoris yang menambah nilai eksotis pakaian wanita ini. Beberapa aksesoris yaitu selappai, katu tapi dewa sano dan bebe.

Selappai merupakan baju yang tidak memiliki lengan dan memiliki hiasan rumbai ringgit pada bagian tepi bawahnya. Bebe merupakan sulaman benang dari satin yang menyerupai bunga teratai yang mengambang. Sedangkan kati tapis dewa sano merupakan rumpai ringgit yang terbuat dari kain tapis jung jarat. Ada beberapa aksesoris tambahan yang digunakan oleh pengantin. Berikut adalah beberapa aksesoris yang digunakan oleh pengantin wanita.

Baju adat Lampung modern Pepadun dan Saibatin ini tidak merubah dan mengurangi apa yang sudah dikenakan sejak jaman dulu. Hanya desain yang memang lebih modern dan fashionable serta beragam warna yang bisa dipilih agar lebih elegan saat dikenakan.

Demikianlah informasi terkait baju adat Lampung modern Pepadun dan Saibatin. Semoga bisa menjadi referensi untuk anda.

Continue Reading

Adat Budaya

Tentang Suku Tumi dan Kerajaan Sekala Brak

Published

on

Peninggalan Kerajaan Sekala Brak
Prasasti Hujung Langit (Raja Sri Haridewa) Peninggalan Kerajaan Sekala Brak | Foto: Ist.

Lampung.co – Di lereng gunung tertinggi di Lampung itu hidup sebuah suku purba yang bernama suku Tumi. Suku tersebut dimungkinkan berasal dari India beberapa millennium sebelum masehi. Ahmad Safei, Saibatin Kepaksian Buay Belunguh, Paksi Pak Sekala Brak, mengatakan nama suku Tumi berasal dari asal nama Tamil, sebuah suku bangsa yang masih ada hingga sekarang di India.

Pendiri Kerajaan Sekala Brak

Nama dan penyebutan Kejaraan Sekala Brak memiliki beberapa versi. Ada yang menyebutnya dengan istilah Sakala Bhra, Sekala Beghak, Segara Brak, hingga Skala Brak. Namun, semuanya merujuk sebuah unit masyarakat yang didirikan Suku Tumi pada abad ke-3 Masehi yang berpusat di lereng Gunung Pesagi, dekat Danau Ranau, Lampung Barat.

Pendiri kerajaan ini menurut William Marsden (2008) dalam bukunya Sejarah Sumatra, seorang Raja bernama Buay Tumi. Sebelum mendirikan pemerintahan yang lebih tertata dalam konsep kerajaan, Buay Tumi adalah pemimpin orang-orang Suku Tumi yang dipercaya sebagai suku asli Lampung.

Menurut versi lain, hasil musyawarah Kepaksian Sekala Brak pada tahun 2001 mengakui La Laula sebagai Raja pertama kerajaan ini sejak awal abad masehi, bukan Buay Tumi. La Laula bukanlah penduduk asli. Ia bersama pengikutnya tiba di Sekala Brak dari Hindia Belakang (sekitar Vietnam dan Kamboja) pada awal abad Masehi dengan menggunakan kapal kano. Meskipun demikian, Kepaksian Sekala Brak membenarkan eksistensi suku Tumi yang telah ada sebelum kedatangan La Laula yang mendirikan Kejaraan Sekala Brak.

La Laula tiba di sebuah negeri yang di penuhi pohon sekala di mana, di sana telah berdiam suatu entitas masyarakat yang bernama Suku Tumi. Suku Tumi merasa terdesak dengan kehadiran La Laula yang lambat laun berhasil menarik pengikut dari kalangan masyarakat lokal. Setelah melalui pertempuran yang cukup lama, La Laula dan pengikutnya berhasil menaklukkan Suku Tumi serta mendudukkan dirinya sebagai Raja pertama Kerajaan Sekala Brak.

Kepercayaan

Sejarah Daerah Lampung, Depdikbud (1997) menyebut masyarakat Suku Tumi masih menganut kepercayaan animisme/dinamisme sebelum kedatangan agama Hindu dari India sejak abad ke-1 Masehi. Itu artinya, kerajaan Sekala Brak sejak didirikan merupakan kerajaan yang menganut agama Hindu meskipun masih ada yang memeluk ajaran Buddha serta kepercayaan lokal sebelumnya.

Belasa Kepampang

R. Sudradjat, dkk., (1991) dalam buku Sistem Pemajemukan Bahasa Lampung Dialek Abung, mengatakan terdapat sebuah pohon bernama Belasa Kepampang yang sangat disucikan oleh suku Tumi di Sekala Brak. Pohon ini memiliki dua cabang, yaitu cabang nangka dan cabang sebukau. Keduanya mengandung getah dengan fungsi yang berbeda meskipun berasal dari pohon yang sama.

Jika terkena getah cabang sebukau, orang bisa terkena penyakit kulit dan berbahaya apabila dibiarkan begitu saja. Namun, ternyata ada obatnya, yakni getah dari cabang nangka. Adanya dua cabang dengan dua getah yang bertolak belakang dalam satu pohon inilah yang membuat Belasa Kepampang dikeramatkan oleh suku Tumi.

Teguh Prasetyo (2005) dalam Masa Lalu di Lampung Barat juga menyebutkan bahwa kepercayaan ini tak hanya diyakini penduduk Kerajaan Sekala Brak saja. Melainkan diyakini juga oleh masyarakat yang bermukim di sepanjang aliran Way Komering, Way Semangka, Way Sekampung, Way Seputih, Way Tulangbawang, Way Umpu, Way Rarem, dan Way Besai.

Peninggalan

Keberadaan kerajaan yang dirintis Suku Tumi itu dibuktikan dengan ditemukannya sejumlah peninggalan, seperti batu-batu, tapak bekas kaki, altar upacara, hingga tempat untuk eksekusi mati. Louis-Charles Damais (1995) dalam Epigrafi dan Sejarah Nusantara menyimpulkan, prasasti tersebut merupakan peninggalan Kerajaan Sekala Brak pada era Suku Tumi.

Akhir Eksistensi

Kerajaan Sekala Brak bertahan sangat lama hingga pada abad ke-16 M berhasil ditaklukan empat pangeran dari Paguruyung yang ingin melebarkan kekuasaan. Konsep kerajaan Hindu yang terakhir dipimpin seorang ratu bernama Umpu Sekekhummong atau Ratu Sekerumong ini digantikan pemerintahan Islam yang disebut dengan istilah Kepaksian. (doy)

Continue Reading

Banyak Dibaca