fbpx
Connect with us

Kolom

Tolak Kapitalisasi Politik Demokrasi Dalam Pilgub Lampung 2018

Published

on

Kapitalisasi Politik Demokrasi

Lampung.co – Apa yang paling laris dijual di negeri ini? Boleh jadi politik. Politik sejatinya merupakan pekerjaan yang mulia. Melalui politiklah urusan-urusan publik dapat dikelola secara efektif, sehingga negara dengan seluruh alatnya dapat difungsikan untuk sebesar-sebesar kemakmuran rakyat. Apa yang musykil dilakukan oleh tangan-tangan sosial masyarakat, dapat dilakukan dengan mudah oleh tangan partai politik maupun para politisi. Itu idealnya.

Kenyataannya? Tak semudah retorika. Kini, politik berubah drastis fungsinya. Politik jadi ajang komoditi, sekaligus alat-tukar yang paling menjanjikan. Dunia politik sungguh telah berubah menjadi pasar bebas, sekaligus pasar taruhan yang paling menggiurkan. Tengoklah bagaimana para calon dalam pilkada di mana saja. Selalu ada obral uang, sekaligus bual janji, untuk menuju tangga jabatan puncak di pemerintahan daerah. Lalu, lahirlah para pialang sekaligus broker politik yang kian mengawetkan dan menggelembungkan budaya politik uang.

Politik uang bukan malah berhenti, tapi kian menjadi-jadi. Kita sungguh miris mendengar kabar, bagaimana uang miliaran begitu mudah jadi alat jual-beli kepentingan politik dalam berbagai pilkada di negeri ini. Baru mau mendaftar jadi calon saja konon sudah harus mengeluarkan fulus sangat besar, apalagi sudah jadi calon dan terpilih. Tak dapat dibayangkan, bagaimana para pejabat negara/politik itu manakala sesudah terpilih kemudian harus “melunasi utang-utang politik”. Lalu, kapan berkonsentrasi untuk mengemban amanat publik secara serius tanpa diganggu oleh tagihan-tagihan “kas-bon politik”? Jabatan publik jadi sulit kembali ke hulunya, yakni rakyat pemberi mandat. Bisa-bisa malah memanjakan cukong.

Berangkat dari kondisi yang demikian tersebut, gelagat perpolitikan di Lampung tak lepas dari situasi yang telah digambarkan diatas, saat pemilu 2014 lalu, kita melihat begitu banyak “campur tangan” pengusaha untuk menyukseskan kemenangan salah satu cagub dengan memberikan gula kepada masyarakat, hampir di tiap desa pada tiap kabupaten di Lampung, kala itu. Begitu juga dari kampung hingga kota, ada hiburan dadakan yang didalam setiap eventnya terdapat hadiah-hadiah yang bernilai jutaan rupiah. Semuanya ditujukan bukan untuk menghibur masyarakat, melainkan untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya suara dari hiburan yang menghamburkan uang ratusan hingga milyaran rupiah. Kita juga melihat betapa mudahnya partai politik serampangan dan begitu pragmatis dalam mengusung calon gubernur yang bukan berasal dari “keluarga” Partai tersebut, secara otomatis tindakan demikian merupakan “pembunuh” sistem kaderisasi dan pendidikan politik di partai itu.

Tentu saja, pada perhelatan pilgub kali ini kita tidak ingin ada berbagai macam kejadian seperti diatas yang kembali melukai demokrasi, sebab itu sejak dini gejala-gejala awal terjadinya politisasi kapital tersebut harus diantisipasi, maka dari itu kami meminta Kepada setiap partai yang ikut dalam pilkada 2018 untuk tidak melakukan praktik-praktik money poltik seperti suap-menyuap, jual-beli dukungan, begitu Kepada setiap calon Gubernur untuk dapat bersaing secara sehat dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta etika berdemokrasi, kepada penyelenggara, pengawas, dan pemantau pemlu untuk dapat bekerja semaksimal mungkin agar tercipta pilkada yang sesuai dengan asas pemilu yang Jurdil dan luber, begitu juga para akademisi, aktivis untuk turut serta perduli dan aktif memberikan masukan dan kerja kongkrit agar tercipta iklim demokrasi yang sehat serta berkualitas.

Een Riansah

(Front Muda Nahdliyin Lampung)
(Red)

Loading

Tim Redaksi media online Lampung.co menerbitkan berita-berita khusus, termasuk berita advertorial. Hubungi tim redaksi melalui email redaksi@lampung.co atau WhatsApp 0811-790-1188

Kolom

Sejarah Hari Kebangkitan Nasional dan Pentingnya Peringatan di Era Modern

Dengan mengenang dan merayakan Hari Kebangkitan Nasional, diharapkan masyarakat Indonesia dapat terus terinspirasi dan tergerak untuk memperkuat persatuan, semangat kebangsaan, dan dedikasi dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia

Loading

Published

on

Hari Kebangkitan Nasional
Ilustrasi Hari Kebangkitan Nasional | Foto: Ist.

Lampung dot co – Kolom | Hari Kebangkitan Nasional adalah perayaan nasional yang diadakan setiap tanggal 20 Mei di Indonesia. Peringatan ini juga dikenal dengan sebutan Hari Kebangkitan Nasional Indonesia. Perayaan ini bertujuan untuk membangkitkan semangat nasionalisme dan kebangkitan bangsa, serta mengingatkan masyarakat Indonesia akan perjuangan dan pengorbanan para pahlawan kemerdekaan.

Sejarah Hari Kebangkitan Nasional

Pada tanggal 20 Mei 1908, Budi Utomo, organisasi pertama yang mengusung semangat kebangsaan Indonesia, didirikan. Pendirian Budi Utomo menjadi tonggak awal gerakan nasional Indonesia yang bertujuan untuk memperjuangkan kemerdekaan dari penjajahan Belanda.

Kebangkitan Nasional Indonesia adalah periode pada paruh pertama abad ke-20 di Nusantara (kini Indonesia), ketika rakyat Indonesia mulai menumbuhkan rasa kesadaran nasional sebagai “orang Indonesia”. Masa ini ditandai dengan dua peristiwa penting yaitu berdirinya Budi Utomo (20 Mei 1908) dan ikrar Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928).

Untuk mengejar keuntungan ekonomi dan menguasai administrasi wilayah, Belanda menerapkan sistem pemerintahan kolonial pada orang-orang yang sebelumnya tidak memiliki kesamaan identitas politik. Pada awal abad ke-20, Belanda menetapkan batas-batas teritorial di Hindia Belanda, yang menjadi cikal bakal Indonesia modern.

Pada paruh pertama abad ke-20, muncul sejumlah organisasi kepemimpinan yang baru. Melalui kebijakan Politik Etis, Belanda membantu menciptakan sekelompok orang Indonesia yang terpelajar. Perubahan yang mendalam pada orang-orang Indonesia ini sering disebut sebagai “Kebangkitan Nasional Indonesia”. Peristiwa ini dibarengi dengan peningkatan aktivitas politik hingga mencapai puncaknya pada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.

Dalam perayaan Hari Kebangkitan Nasional, sering kali diadakan berbagai kegiatan seperti upacara bendera, peringatan, diskusi, seminar, dan acara budaya yang melibatkan masyarakat. Pemerintah, lembaga pendidikan, dan organisasi kemasyarakatan sering kali berpartisipasi dalam perayaan ini dengan mengadakan kegiatan yang bertema nasionalisme, sejarah, dan kebangsaan.

Pentingnya Perayaan Hari Kebangkitan Nasional

Perayaan Hari Besar Ini memiliki arti penting dalam membangun identitas nasional, menyatukan bangsa, dan memupuk rasa cinta tanah air serta semangat kebangsaan di kalangan masyarakat Indonesia. Melalui perayaan ini, diharapkan bahwa masyarakat Indonesia dapat mengingat dan menghargai perjuangan para pahlawan serta memperkuat tekad untuk menjaga dan mengembangkan bangsa dan negara Indonesia.

Selain memperingati pendirian Budi Utomo, Hari Kebangkitan Nasional juga menjadi momentum untuk merefleksikan perjalanan sejarah bangsa Indonesia, menghargai perjuangan para pahlawan nasional, dan menggugah semangat kebangkitan nasional di tengah perubahan zaman.

Peringatan Hari Kebangkitan Nasional juga dapat menjadi momen penting untuk mengajarkan nilai-nilai kebangsaan kepada generasi muda. Melalui edukasi sejarah dan kegiatan yang relevan, seperti ceramah, diskusi, dan kontes-kontes, masyarakat dapat lebih memahami jasa-jasa para pahlawan kemerdekaan dan pentingnya mempertahankan dan mengembangkan keberagaman serta persatuan bangsa.

Selain itu, Hari Kebangkitan Nasional juga menjadi ajang untuk merayakan prestasi dan kemajuan bangsa Indonesia dalam berbagai bidang, seperti politik, ekonomi, sains, olahraga, seni, dan budaya. Perayaan ini dapat menjadi momen untuk mengenang berbagai capaian bangsa yang telah memberikan sumbangan dalam memajukan Indonesia.

Peringatan di Era Modern

Di era modern ini, peringatan Hari Kebangkitan Nasional juga sering dikaitkan dengan semangat inovasi, kreativitas, dan kewirausahaan. Dalam rangka meningkatkan kebangkitan nasional, masyarakat didorong untuk berperan aktif dalam pembangunan dan berkontribusi dalam memajukan Indonesia melalui berbagai bidang kehidupan, termasuk ekonomi, pendidikan, teknologi, dan lingkungan.

Penutup

Dengan mengenang dan merayakan Hari Kebangkitan Nasional, diharapkan masyarakat Indonesia dapat terus terinspirasi dan tergerak untuk memperkuat persatuan, semangat kebangsaan, dan dedikasi dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia sebagai negara yang maju, berdaulat, adil, dan berkepribadian.

Loading

Continue Reading

Artikel

Mengapa Isu “Loss and Damage” Dalam COP27 Penting untuk Indonesia

Contohnya adalah tenggelamnya pulau-pulau kecil milik negara-negara kepulauan di kawasan Pasifik seperti Kiribati dan Tuvalu. Indonesia juga menghadapi ancaman serupa.

Loading

Published

on

Banjir
Foto udara banjir yang melanda Pekalongan karena penurunan tanah dan kenaikan muka air laut | Foto: Antara/Harviyan Perdana Putra

Lampung.co – Para pemimpin dunia sedang berkumpul di Mesir untuk mengikuti konferensi iklim Perserikatan Bangsa Bangsa (Conference of Parties 27 atau COP27).

Dalam pertemuan ini, selain poin penting seputar mitigasi, adaptasi, dan pendanaan, pemimpin dunia juga turut membahas persoalan “loss and damage” atau kehilangan dan kerusakan.

Lalu apa itu loss and damage dan mengapa ini penting untuk Indonesia?

Dampak perubahan iklim

Pakar perubahan iklim dari Independent University Bangladesh, Saleemul Huq, dalam buku The Climate Book yang dibuat oleh pegiat lingkungan Greta Thunberg, memaparkan bahwa yang dimaksud dengan “loss” adalah sesuatu yang hilang secara utuh dan tidak mungkin bisa kembali. Tidak peduli berapa banyak uang yang digelontorkan untuk membuatnya lagi.

Contohnya adalah tenggelamnya pulau-pulau kecil milik negara-negara kepulauan di kawasan Pasifik seperti Kiribati dan Tuvalu. Indonesia juga menghadapi ancaman serupa. Menurut peneliti BRIN, ada 115 pulau di Indonesia yang terancam hilang atau tenggelam.

<span class="caption">Foto udara banjir yang melanda Pekalongan karena penurunan tanah dan kenaikan muka air laut.</span> <span class="attribution"><span class="source">Harviyan Perdana Putra/Antara</span></span>

Sementara “damage” mengacu pada sesuatu yang rusak akibat bencana iklim tapi masih bisa diperbaiki, tentu saja dengan catatan jika kita punya uang dan sumber daya yang mumpuni. Pemutihan terumbu karang, kerusakan lahan pertanian akibat kekeringan panjang, dan hancurnya pemukiman serta fasilitas umum akibat banjir adalah contoh nyata kerusakan yang sedang dan akan terus dihadapi Indonesia.

Kajian dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) memprediksi Indonesia akan menanggung kerugian ekonomi yang luar biasa dalam rentang waktu 2020-2024, yaitu sebesar Rp 544 triliun atau setara dengan 31% realisasi pendapatan negara tahun 2021 yang mencapai 1.736 triliun.

Pertanyaan kemudian muncul, siapa yang akan menanggung kerugian ekonomi yang sedemikian besar? Apakah semua akan ditanggung negara? Tentu tidak, sebagian besar kerugian ini akan ditanggung sendiri oleh masyarakat rentan, seperti penduduk pesisir pantai atau para petani yang menggantungkan hidupnya pada kondisi alam.

Jalan terjal keadilan iklim

Meski tidak dapat menutup semua kerugian ekonomi, Indonesia sangat berkepentingan untuk mendapatkan kompensasi loss and damage dari negara maju untuk mengurangi pengeluaran dari anggaran negara. Karena itulah, perwakilan Indonesia di COP harus mengawal agenda pembahasan perkara ini dalam COP.

Namun, upaya membawa isu loss and damage ke meja perundingan COP bukan perkara mudah. Sudah 30 tahun lebih isu ini dibawa oleh negara berkembang. Merunut sejarahnya, isu loss and damage pertama kali dibawa oleh Vanuatu yang mewakili Aliansi Negara-Negara Kepulauan Kecil (AOSIS) pada 1991.

<span class="caption">Menteri Luar Negeri Tuvalu, Simon Kofe, saat berpidato di tengah pesisir negaranya yang terendam karena kenaikan muka air laut.</span> <span class="attribution"><span class="source">via social media</span></span>

Saleemul Huq juga mengkritik isu loss and damage seakan menjadi hal tabu dalam negosiasi iklim internasional karena ada embel-embel kompensasi di baliknya. Negara majulah yang kerap menghindari persoalan ini. Pemenuhan janji pendanaan iklim US$ 100 miliar yang digelontorkan negara maju ke negara berkembang saja sudah berat dan sulit dicapai, apalagi ditambah ganti rugi loss and damage.

Proposal bersama koalisi negara G77 dan Cina untuk mendapatkan fasilitas pendanaan loss and damage tahun lalu juga ditolak oleh kelompok negara maju penyumbang emisi terbesar seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa di Glasgow.

Akhirnya kabar baik datang dari Mesir. Dalam COP27, ada enam negara yang mau berkomitmen untuk menyumbang pendanaan loss and damage. Mereka adalah Skotlandia, Denmark, Jerman, Austria, Irlandia, dan Belgia. Gabungan pendanaan dari enam negara ini mencapai kurang lebih US$ 265 juta.

Jumlah ini memang belum banyak. Sebab, dua ilmuwan dari Basque Center for Climate Change Spanyol Anil Markandya dan Mikel González-Eguino menaksir kerugian tak terhindarkan yang ditanggung negara-negara berkembang akibat bencana iklim diprediksi mencapai US$ 290 – 580 miliar (Rp 4.519 – 9.033 triliun) pada 2030. Angka ini akan terus meningkat hingga US$ 1.132 – 1.741 miliar (Rp 17.631 – 27.117 triliun) pada 2050.

Namun begitu, komitmen pendanaan dari enam negara maju setidaknya menjadi simbol solidaritas terhadap perjuangan negara-negara berkembang. Ini juga menjadi sindiran untuk negara maju lainnya yang masih bergeming.

Hingga saat ini, ketimpangan yang sangat besar antara komitmen pendanaan loss and damage dengan perkiraan kebutuhannya masih akan ditanggung sendiri oleh negara-negara sedang berkembang.

Saatnya bergerak

Isu loss and damage harus bisa lepas dari bayang-bayang dominasi pembicaraan mitigasi atau pengurangan emisi. Tentu saja, ambisi dan upaya negosiasi pengurangan emisi negara-negara harus terus digenjot.

<span class="caption">Aktivis organisasi lingkungan Friends of Earth menyuarakan isu loss and damage di COP21 pada 2015.</span> <span class="attribution"><span class="source">(John Englart/Flickr)</span></span>

Namun, perlu diingat bahwa dampak dari krisis iklim sudah di depan mata dengan semakin meningkatknya bencana iklim khususnya di negara-negara sedang berkembang.

Para pemimpin dunia juga harus memikirkan tantangan yang sedang terjadi dan turut berkontribusi meringankan beban negara-negara berkembang.

Kompensasi dari loss and damage penting untuk mewujudkan keadilan iklim bagi negara-negara berkembang. Seperti kita tahu bahwa kontribusi emisi negara-negara ini relatif lebih sedikit dibandingkan dengan emisi dari negara-negara maju sejak revolusi industri.

Sayangnya, negara-negara sedang berkembang harus menanggung kerugian dampak perubahan iklim lebih banyak.

Nicola Sturgeon, Perdana Menteri Skotlandia, juga menyayangkan ketidakadilan ini dalam pidatonya pada panel loss and damage. Ia juga menyoroti bahwa aksi nyata untuk loss and damage sangat terlambat dan mendesak negara maju untuk menyediakan pendanaan sekarang juga.

Peran Indonesia

Kucuran dana kompensasi loss and damage ke Indonesia akan meringankan beban anggaran negara untuk menanggulangi kerugian akibat bencana iklim.

Namun, pembicaraan loss and damage akan menghadapi batu terjal dalam perundingan-perundingan berikutnya. Penting bagi delegasi Indonesia dan tentunya Presiden Joko Widodo terus menyuarakan isu ini dalam perundingan COP di Mesir, Dubai (tuan rumah COP28 tahun depan) dan seterusnya.

Indonesia bisa menjadi aktor kunci untuk memperkuat koalisi G77 dengan Cina dan juga keenam negara maju yang berkepentingan terhadap isu loss and damage.

Indonesia dekat dengan negara-negara ekonomi besar dalam G20, sekaligus juga dekat dengan negara-negara G77 dan Aliansi Negara-Negara Kepulauan Kecil (AOSIS). Ini memberikan posisi strategis bagi Indonesia untuk terus menggaungkan dan menjaga momentum isu loss and damage dalam berbagai kesempatan pertemuan internasional.The Conversation

Oleh: Stanislaus Risadi Apresian,
Assistant Professor of International Relations, Universitas Katolik Parahyangan

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation dengan judul Mengenal isu “loss and damage” dalam COP27 dan mengapa ini penting untuk Indonesia.

Loading

Continue Reading

Kolom

Kenapa Mahasiswa Pertanian Tak Ingin Jadi Petani? Ini Jawabannya

Keinginan mahasiswa IPB menjadi petani cukup rendah, yaitu sebesar rata-rata 5,65 dari 10, jauh di bawah rata-rata keinginan mereka untuk membuka bisnis di sektor lain yaitu sebesar 8,29.

Loading

Published

on

Petani Milenial
Ilustrasi Petani Milenial | Foto: Ist.

Lampung.co – Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata usia petani meningkat dari 39,9 tahun pada 2000 menjadi 45,7 tahun pada 2020. Ini menunjukkan tren penuaan tenaga kerja sektor pertanian dan rendahnya minat anak muda menjadi petani.

Sayangnya, hasil riset saya pada 577 mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) menunjukkan bahwa lulusan pertanian memiliki minat yang rendah untuk bergelut di sektor ini karena kurangnya pengetahuan mereka, rendahnya kepercayaan diri, stigma, hingga ketiadaan dukungan dari orang tua dan pendidik.

Keinginan mahasiswa IPB menjadi petani cukup rendah, yaitu sebesar rata-rata 5,65 dari 10, jauh di bawah rata-rata keinginan mereka untuk membuka bisnis di sektor lain yaitu sebesar 8,29.

Hal ini bisa menjadi ancaman karena menurut penelitian beberapa pakar, petani tua cenderung kurang produktif dan efisien serta enggan untuk mengadopsi teknologi terbaru. Indikasi ancaman ini dibuktikan dengan 4,79% penduduk Indonesia – atau setara dengan 13 juta penduduk – mengalami kerawanan pangan di tahun 2021, yang salah satunya dapat disebabkan kekurangan produksi pangan dalam negeri.

Kekurangan produksi pangan juga ditunjukkan dengan rata-rata peningkatan impor pangan sebesar 5,98% tiap tahunnya. Padahal, dengan adanya krisis global saat ini, termasuk pandemi COVID-19 dan Perang Rusia-Ukraina yang mengguncang perdagangan lintas negara, para ahli mengakui perlunya mencapai swasembada dan ketahanan rantai pasokan.

Menghadapi situasi ini, Indonesia butuh regenerasi di sektor pertanian dan lebih banyak petani muda.

Mengapa generasi muda enggan menjadi petani?

Saya menemukan beberapa faktor yang signifikan mempengaruhi keinginan mahasiswa menjadi petani.

Keakraban atau pengetahuan mahasiswa terhadap aktivitas bertani berpengaruh positif terhadap keinginan mereka menjadi petani. Rata-rata tingkat keakraban mahasiswa IPB terhadap aktivitas bertani hanya sebesar 5,83 dari 10.

Hasil tersebut mengindikasikan bahwa sekalipun mereka adalah mahasiswa di universitas pertanian, bukan berarti mereka mendapatkan pengetahuan yang cukup untuk aktivitas bertani dari kegiatan belajar di kelas. Aktivitas ini termasuk produksi pertanian di lapangan, baik dalam bercocok tanam, manajemen tenaga kerja, maupun penjualan hasil panen. Sulit bagi mereka membayangkan menjadi petani jika mereka merasa asing dengan aktivitas bertani itu sendiri.

Saya juga menemukan bahwa kepercayaan diri mahasiswa untuk mengambil risiko menjadi faktor yang signifikan di balik keinginan menjadi petani.

Hasil survei yang saya lakukan menunjukkan bahwa rata-rata skala kesediaan mahasiswa mengambil keputusan berisiko apabila mereka menjadi petani hanya berkisar di angka 5,42.

Memang, penelitian menyebutkan bahwa pekerjaan petani memiliki risiko yang lebih besar daripada pekerjaan lain. Petani harus menghadapi beragam tantangan seperti kegagalan panen karena iklim atau hama, harga yang tidak stabil di pasar, bunga dari pembayaran pinjaman, dan kecelakaan kerja dan kesehatan. Tanpa keyakinan yang tinggi untuk mengambil risiko, berat bagi generasi muda untuk memiliki aspirasi menjadi petani.

Sementara itu, dukungan dari orang tua memiliki pengaruh yang positif terhadap keinginan mahasiswa menjadi petani. Terdapat sekitar 47.5% mahasiswa yang tidak menerima dukungan dari orang tua untuk menjadi petani.

Mahasiswa yang menerima dukungan yang rendah dari orang tua kemungkinan terkait dengan faktor lain yang saya temukan berpengaruh terhadap keinginan mahasiswa menjadi petani, yaitu pendidikan ayah. Temuan saya menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan ayah, semakin rendah keinginan anaknya untuk menjadi petani. Hal ini sejalan dengan data yang saya temukan bahwa 48% mahasiswa yang ayahnya berpendidikan SMA dan universitas tidak menerima dukungan dari orang tua untuk menjadi petani.

Saya juga menghubungkan penemuan tersebut dengan faktor lain yang signifikan dalam mempengaruhi keinginan mahasiswa menjadi petani, yaitu pandangan mahasiswa terhadap pekerjaan petani adalah untuk orang yang berpendidikan rendah. Bisa jadi, karena responden adalah mahasiswa sedang menempuh pendidikan tinggi di universitas, mereka (begitu pula orang tuanya) tidak bisa membayangkan untuk menjalani profesi yang lekat dengan stigma pendidikan rendah.

Dukungan untuk tidak menjadi petani ternyata dapat diteruskan antargenerasi. Saya menjumpai mahasiswa yang keinginannya rendah juga akan tidak mendukung anak mereka di masa depan jika ingin menjadi petani.

Terakhir, saat ditanya hal apa yang dapat meningkatkan keinginan mahasiswa untuk menjadi petani, kebanyakan menekankan pentingnya akses terhadap modal dan aset. Hal ini mengindikasikan juga bahwa rendahnya keinginan mereka menjadi petani adalah karena tidak memiliki kecukupan sumber daya untuk memulai usaha bertani.

Lalu, bagaimana meningkatkan keinginan mereka menjadi petani?

Untuk meningkatkan pengetahuan dan keakraban mahasiswa terhadap aktivitas bertani, universitas dapat bekerja sama dengan petani individu maupun perusahaan untuk menawarkan program magang kepada mahasiswa. Selain membuat mahasiswa lebih akrab dengan aktivitas bertani, ini juga membuat mahasiswa memiliki sosok mentor untuk ke depannya.

Mentor juga dapat mengenalkan mahasiswa tentang keputusan berisiko apa saja yang harus diambil sebagai petani, sekaligus meningkatkan kepercayaan diri mereka untuk masuk ke sektor pertanian.

Kita juga perlu mengubah persepsi mengenai pekerjaan petani, khususnya bahwa pekerjaan ini hanya untuk mereka yang berpendidikan rendah. Persepsi tersebut harus direm supaya tidak berlanjut ke generasi berikutnya dan membuat semakin sedikit yang ingin menjadi petani.

Pemerintah bisa mulai mempromosikan kampanye bahwa penting bagi Indonesia untuk memiliki petani muda yang berpendidikan tinggi demi mendukung produksi pangan lebih produktif, efisien, dan inovatif. Upaya mengubah persepsi ini perlu mendapat dukungan penuh dari orang tua dan pendidik.

Sekitar 70% mahasiswa yang disurvei merasa mendapat dukungan dari dosen untuk menjadi petani. Dukungan tersebut secara signifikan berdampak positif terhadap keinginan mahasiswa menjadi petani. Ini perlu ditingkatkan lagi agar keinginan mahasiswa menjadi petani semakin tinggi dan dirasakan oleh semua mahasiswa.

Terakhir, pemerintah perlu meningkatkan program bantuan modal dan aset bagi mahasiswa yang ingin menjadi petani sekaligus secara gencar mempromosikan program tersebut. Sebab, peningkatan keinginan mahasiswa menjadi petani sangat diperlukan untuk menjamin keamanan pangan serta tercapainya swasembada dan ketahanan rantai pasokan.The Conversation

Oleh: Lukas Bonar Nainggolan,
Researcher, Lembaga Demografi FEB UI

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation dengan judul Riset: Mahasiswa pertanian tak ingin jadi petani, apa sebabnya?

Loading

Continue Reading

Banyak Dibaca