fbpx
Connect with us

Kolom

Narasi Rezim Jokowi ‘Tutupi’ Dugaan Pelanggaran HAM di Sektor Batu Bara

Published

on

Lubang Tambang Batu Bara

Pemerintah Indonesia menggunakan narasi pentingnya mencukupi kebutuhan listrik dengan berbahan bakar batu bara untuk “menutupi” masalah konflik pertambangan yang merusak lingkungan dan merenggut nyawa penduduk lokal.

Selama puluhan tahun kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang diduga dilakukan oleh korporasi di berbagai belahan dunia rentan tidak dapat ditindak secara adil karena kurangnya kerangka hukum yang memadai.

Dalam konteks Indonesia, laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada 2016 menyebutkan tidak ada kepastian hukum mengenai sanksi terhadap perusahaan tambang batu bara yang dituduh melanggar HAM dan ganti rugi yang memadai untuk para korban.

Pada 2011 Perserikatan Bangsa-Bangsa merumuskan Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia yang memuat panduan dalam melaksanakan kewajiban negara untuk melindungi HAM, kewajiban korporasi untuk menghormati HAM, dan keadilan dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Meskipun Indonesia menyetujui poin-poin di dalamnya, pemerintah tidak memasukkan agenda ini dalam rencana pembangunan nasional.

Dari 976 kasus yang berkaitan dengan korporasi pada 2010 di Indonesia mayoritas merupakan konflik yang berkaitan dengan sumber daya alam. Merespons masalah tersebut, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia membuat laporan terkait kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh perusahaan tambang batu bara di Kalimantan Timur.

Saya meneliti tentang politik lingkungan dan gerakan masyarakat sipil. Objek yang saya teliti adalah jaringan masyarakat sipil anti-batu bara yang bergerak dalam bentuk gerakan langsung maupun dunia maya serta budaya populer seperti film Sexy Killers, pameran kesenian yang digelar kelompok LSM, dan ritual adat masyarakat lokal. Temuan awal riset saya tentang dugaan pelanggaran HAM terkait sumber daya alam menunjukkan bahwa elite politik dalam pemerintahan dan oposisi memiliki kepentingan dalam industri tambang dan mereka membentuk citra positif industri batu bara melalui narasi pentingnya elektrifikasi.

Meski demikian terdapat resistansi masyarakat sipil lokal dan internasional terhadap perusahaan tambang. Regulasi di Indonesia sebenarnya memberi masyarakat kesempatan untuk protes, tapi mereka tetap menemui tantangan untuk mendapatkan keadilan.

Narasi populer: elektrifikasi 100%
Narasi positif terhadap batu bara turut membentuk opini publik yang positif terhadap masalah batu bara.

Pemerintahan Joko Widodo menginginkan rasio elektrifikasi meningkat dari 85% (2015) menjadi 100% (2020) untuk mengejar target pembangunan nasional. Narasi tersebut juga didukung dengan kebijakan domestic market obligation (DMO) yang dikeluarkan pemerintah, yakni mendorong industri batu bara untuk memenuhi pasokan dalam negeri sebanyak 25%. Sementara untuk energi terbarukan, framing yang dikembangkan oleh pemerintah adalah komitmen pada Kesepakatan Paris dengan asumsi akan didukung dana dari negara-negara maju.

Narasi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi oleh pemerintah seakan mengaburkan pandangan publik bahwa di balik proses pemenuhan kebutuhan energi listrik itu memakan korban jiwa dan lingkungan di sekitar lubang tambang dan PLTU.

Selain itu, secara global target Kesepakatan Paris untuk menahan kenaikan suhu rata-rata bumi di bawah 2 derajat Celcius sulit dicapai bila tak ada komitmen dari negara-negara penghasil emisi karbon, termasuk Indonesia, menaikkan proporsi energi terbarukan dengan mengurangi konsumsi batu bara. Pemerintah membangun narasi bahwa dukungan dana internasional sangat dibutuhkan untuk mencapai target bauran energi terbarukan Indonesia sebesar 23% pada 2025.

Dominasi narasi pemerintah dan korporasi mengenai pertambangan batubara baru-baru ini mendapatkan perlawanan melalui film dokumenter Sexy Killers karya Dandhy Laksono yang mengulas keterlibatan orang-orang di lingkaran dalam para calon presiden dan wakil presiden, Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, dalam industri batu bara Indonesia. Sejak 3 minggu dirilis, film dokumenter ini telah ditonton 21 juta kali di YouTube.

Dalam film ini, Jokowi digambarkan memiliki afiliasi dengan PT. Rakabu Sejahtera yang dipimpin oleh anaknya, Kaesang Pangarep, berkongsi dengan perusahaan batu bara PT Toba Bara Sejahtra milik Luhut Pandjaitan, Menteri Koordinator Kemaritiman. Sementara itu, Sandiaga memiliki saham di PT. Saratoga Investama Sedaya dan Prabowo membawahi Nusantara Energy Resources yang terdiri atas tujuh perusahaan batu bara.

Tak hanya itu. Film ini juga menceritakan tujuh dari sepuluh perusahaan tambang terbesar Indonesia, termasuk PT Toba Bara Sejahtera, memiliki sertifikasi saham halal dari Dewan Syariah Majelis Ulama Indonesia, lembaga yang dipimpin oleh Ma’ruf Amin, calon wakil presiden pendamping Jokowi. Konstelasi ini mengerucut pada relasi elit politik dalam industri batu bara.

Selain itu, laporan terbaru Global Witness, lembaga pemantau HAM dan lingkungan berbasis di London, menyebutkan terdapat aliran dana mencurigakan dari Berau Coal, salah satu investor terbesarnya Sandiaga, ke perusahaan tak dikenal Velodrome Worldwide Limited. Pembayaran rutin ke Velodrome setara dengan seluruh gaji bulanan ratusan karyawan Berau Coal dan tetap dilakukan meski Berau Coal merugi hingga 2012.

Pada November 2016, laporan itu menulis Luhut Pandjaitan menjual 62% saham PT Toba Sejahtra ke perusahaan Singapura, Highland Strategic Holdings, yang tidak diketahui siapa pemiliknya dan berapa besar uang yang berpindah tangan. Ketidakjelasan aliran dana dan kepemilikan perusahaan ini, menurut Global Witness, menciptakan iklim bahwa industri batu bara Indonesia tidak aman. Dua kasus ini juga penting dalam mempertanyakan transparansi industri batu bara dan proyeksi transisi energi terbarukan jika Sandiaga dan Luhut menduduki jabatan politik.

Resistansi masyarakat sipil
Sebagian besar produksi batu bara Indonesia diekspor, dan hanya sekitar 24% masuk ke pasar domestik. Pada periode 2007-2017, Indonesia memproduksi 367 juta ton batu bara rata-rata per tahun.

Sekitar 86% konsumsi batu bara di dalam negeri digunakan untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Sementara PLTU menyuplai listrik di sebagian besar Pulau Jawa dan Bali, masyarakat di sekitar lokasi tambang dan PLTU merasakan dampak negatif dari usaha tambang seperti polusi udara, kerusakan lingkungan, hingga kematian. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat 32 orang tewas pada tahun 2014-2018 di berbagai lubang bekas tambang di Kalimantan Timur.

Rendahnya respons pemerintah dan penegakan keadilan bagi korban lubang tambang memicu protes di kalangan masyarakat sipil. Pada 2014, warga adat Paser Kalimantan Timur menggelar ritual adat Belian sebagai aksi protes akibat perebutan lahan oleh PT Kodeco Jaya Agung milik warga. Jatam dan Koalisi Advokasi Kasus Lubang Tambang Kalimantan Timur merupakan LSM yang aktif mengadvokasi para korban untuk mencari keadilan.

Tidak hanya pada level lokal, gerakan protes dilakukan oleh jaringan transnasional seperti demonstrasi masyarakat Jepang dan Washington D.C. yang menuntut penghentian investasi proyek PLTU Batang oleh Japan Bank for International Cooperation (JBIC). Jaringan masyarakat sipil global Friends of the Earth International yang memiliki afiliasi di 73 negara dan lakukan sekitar 5 ribu LSM lokal dan internasional juga mengadvokasi dan kampanye antitambang secara langsung maupun melalui dunia maya dengan hashtag #StopBatangCoal.

Pada 13-15 Oktober 2017, misalnya, anggota jaringan Friends of the Earth menyerukan kampanye ‘No to Coal!’ dan tuntutan penggunaan energi terbarukan di Indonesia, Jepang, Bangladesh, Australia, Jerman, Palestina, Swedia, Spanyol, dan Malaysia. Selain aksi di lapangan, mereka juga aktif membuat surat terbuka kepada pemerintah dan perusahaan yang berhubungan dengan sektor energi batu bara.

Struktur kesempatan politis
Protes-protes yang dilakukan oleh masyarakat sipil didukung dengan adanya aturan mengenai usaha tambang yang disebut sebagai political opportunity structure. Kesempatan politik ini memberikan ruang bagi masyarakat sipil untuk menyuarakan aspirasinya melalui mekanisme legal dan memiliki landasan hukum yang kuat. Landasan hukum tersebut dapat meningkatkan daya tawar masyarakat sipil sehingga gerakan resistansi mereka bisa menjadi tidak terbatas atau jaringannya meluas.

Selain peraturan tersebut, kesempatan politik juga hadir dengan munculnya regulasi-regulasi baru. Pasal 20 ayat 1 Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2018 menyebutkan perusahaan tambang wajib memulihkan kondisi lingkungan bekas lubang tambang. Peraturan ini menjadikan posisi masyarakat sipil yang dilanggar hak-haknya semakin kuat di mata hukum.

Walaupun struktur politik menciptakan kesempatan bagi masyarakat sipil untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, implementasi dari regulasi yang berkaitan tidak sebaik di atas kertas. Hambatan-hambatan yang menghalangi implementasi ini antara lain lemahnya sistem hukum karena perbedaan pandangan dan peraturan yang tumpang tindih di tingkat pusat dan daerah, pemerintah yang tidak mencapai konsensus, tentangan dari korporasi, serta lemahnya tekanan internasional melalui institusi dan rezim yang berkaitan seperti Kesepakatan Paris.

Karena itu, masyarakat sipil harus terus menekan pemerintah dan mempromosikan norma-norma internasional seperti transparansi dan antikorupsi untuk menyelesaikan masalah yang menyelimuti sektor pertambangan, supaya lebih terang sebagaimana pancaran cahaya listrik yang dihasilkan oleh batu bara.

Oleh: Masitoh Nur Rohma,
Lecturer in International Relations, Universitas Islam Indonesia (UII)
*Artikel ini terbit pertama kali di . Baca artikel sumber.
**Pembaca bisa mengirim tulisan via kontak yang tersedia atau melalui www.lampung.co/karya-pembaca

Rodi Ediyansyah merupakan salah satu editor media online Lampung.co yang bertugas mencari, menyunting dan menerbitkan naskah berita atau artikel dari penulis. Kontak rhodoy@lampung.co

Kolom

PKKMB Unila 2023: Ide Tanpa Substansi

Sangat disayangakan untuk seorang mahasiswa yang seharusnya adaptif dan peka kondisi yang saat ini terjadi justru gagap

Published

on

PKKMB Unila 2023
PKKMB Unila 2023 | Foto: Ist.

Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB ) Universitas Lampung yang diberitakan melalui website Unila disambut antusias Mahasiswa Baru (MABA) 2023 untuk mengenalkan, dan menggambarkan secara langsung iklim kehidupan kampus. Rangkaian tersebut diisi dengan materi, dan juga pengenalan berbagai Organisasi Kemahasiswaan di tingkat universitas, fakultas, dan jurusan. Tentunya dengan harapan, MABA dapat mempersiapkan diri sebelum memasuki pembelajaran dalam bidang akademik ataupun non akademik.

Paper Mob dan Ide Tanpa Substansi

Meskipun demikian, ide yang digagas oleh beberapa ormawa seperti BEM, khususnya di tingkat fakultas dalam agenda PKKMB cenderung monoton atau bahkan mengadopsi tahun-tahun sebelumnya, yang dimana ide tersebut adalah paper mob. Paper mob yang dimaksud adalah sebuah atraksi yang menampilkan gambar atau tulisan menggunakan kertas dan terkumpul di satu titik.

Salah seorang mahasiswa yang menjadi panitia di PKKMB fakultas, menyampaikan “Paper Mob seperti yang dilakukan pada tahun-tahun lalu sebelum dilanda covid, sebagai salah satu ide yang digagas untuk memeriahkan rangkaian PKKMB bagi Mahasiswa Baru”.

Sangat disayangakan untuk seorang mahasiswa yang seharusnya adaptif dan peka kondisi yang saat ini terjadi justru gagap akan hal tersebut. Kondisi tersebut seperti isu organisasi kemahasiswaan (ormawa) yang sudah dianggap kurang relevan untuk diikuti, dan kalah saing. Hal tersebut kenapa tidak diangkat menjadi isu krusial dan diselesaikan melalui paradigma baru.

Dengan demikian, paradigma baru tersebut dapat ditularkan kepada mahasiswa baru melalui PKKMB, dan tentunya terkemas dalam rangkaian kegiatan dengan ide baru yang kreatif, dan substansial. Peran mahasiswa yang dinilai sebagai Agent of Change untuk di era sekarang layak dikaji ulang, apakah peran tersebut masih dianggap, jika pemikiran seorang mahasiswa sebatas adopsi dan selalu adopsi.

Si Paling Senior di Balik Antusias MABA

Ada satu ketika sore hari sekelompok MABA berjalan kaki beranjak pulang ke arah kampung baru seusai mengikuti PKKMB, diganggu oleh sekelompok mahasiswa menggunakan PDH Ormawa yang meneriaki MABA “Apa lu liat-liat, sini lu. Gua senior lu” dengan nada keras dan memelototi maba yang beriringan.

Belum lagi di sebuah postingan menfess di aplikasi X (yang dulunya twiter) berisi curhatan maba “ Gimana si kating-kating itu gak diajari tata cara wudhu ya masa lagi wudhu disuruh cepet2, marah-marah sama dikasih waktu Cuma 5 menit padahal itu orangnya rame kalo pada buru-buru wudhunya terus gak sah mau nanggung dosanya gaa? Hadehhh”. Curhatan lain juga mengeluhkan sikap kakak tingkat sebagai panitia menjulid “maba! Jadi gamau ospek karna tau kating yang cewenya dikit-dikit ngejulidin sama marah-marah”.

Unila di bawah kepemipinan Rektor Prof. Dr. Ir. Lusmeilia Afriani, D.E.A.IPM mengusung tagline “Be Strong” mengundang pertanyaan apakah tagline tersebut menggambarkan sebuah utopia ataukah distopia dengan hal-hal yang sudah dijabarkan di atas.

Puisi Sajak Pertemuan Mahasiswa – WS. Rendra

matahari terbit pagi ini
mencium bau kencing orok di kaki langit
melihat kali coklat menjalar ke lautan
dan mendengar dengung di dalam hutan
lalu kini ia dua penggalah tingginya
dan ia menjadi saksi kita berkumpul disini
memeriksa keadaan
kita bertanya :
kenapa maksud baik tidak selalu berguna
kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga
orang berkata : kami ada maksud baik
dan kita bertanya : maksud baik untuk siapa ?
ya !
ada yang jaya, ada yang terhina
ada yang bersenjata, ada yang terluka
ada yang duduk, ada yang diduduki
ada yang berlimpah, ada yang terkuras
dan kita disini bertanya :
maksud baik saudara untuk siapa ?
saudara berdiri di pihak yang mana ?
kenapa maksud baik dilakukan
tetapi makin banyak petani kehilangan tanahnya
tanah tanah di gunung telah dimiliki orang orang kota
perkebunan yang luas
hanya menguntungkan segolongan kecil saja
alat alat kemajuan yang diimpor
tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya
tentu, kita bertanya :
lantas maksud baik saudara untuk siapa ?
sekarang matahari semakin tinggi
lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala
dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :
kita ini dididik untuk memihak yang mana ?
ilmu ilmu diajarkan disini
akan menjadi alat pembebasan
ataukah alat penindasan ?
sebentar lagi matahari akan tenggelam
malam akan tiba
cicak cicak berbunyi di tembok
dan rembulan berlayar
tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda
akan hidup di dalam mimpi
akan tumbuh di kebon belakang
dan esok hari
matahari akan terbit kembali
sementara hari baru menjelma
pertanyaan pertanyaan kita menjadi hutan
atau masuk ke sungai
menjadi ombak di samodra
di bawah matahari ini kita bertanya :
ada yang menangis, ada yang mendera
ada yang habis, ada yang mengikis
dan maksud baik kita
berdiri di pihak yang mana !

Semoga saja pesan yang disampaikan oleh W.S Rendra melalui puisinya tersebut dapat menjadi pengingat juga menyadarkan satu sama lain akan peran dan harapan yang dipikul oleh mahasiswa.

Oleh: Ramdani Rasyid,
Mahasiswa Universias Lampung (Unila)
*Artikel Lampung.co ini merupakan kiriman dari pembaca. Isi sepenuhnya tanggung jawab penulis sesuai pasal sanggahan yang telah kami buat.
**Pembaca bisa mengirim tulisan via kontak yang tersedia
Continue Reading

Kolom

Sejarah Hari Kebangkitan Nasional dan Pentingnya Peringatan di Era Modern

Dengan mengenang dan merayakan Hari Kebangkitan Nasional, diharapkan masyarakat Indonesia dapat terus terinspirasi dan tergerak untuk memperkuat persatuan, semangat kebangsaan, dan dedikasi dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia

Published

on

Hari Kebangkitan Nasional
Ilustrasi Hari Kebangkitan Nasional | Foto: Ist.

Lampung dot co – Kolom | Hari Kebangkitan Nasional adalah perayaan nasional yang diadakan setiap tanggal 20 Mei di Indonesia. Peringatan ini juga dikenal dengan sebutan Hari Kebangkitan Nasional Indonesia. Perayaan ini bertujuan untuk membangkitkan semangat nasionalisme dan kebangkitan bangsa, serta mengingatkan masyarakat Indonesia akan perjuangan dan pengorbanan para pahlawan kemerdekaan.

Sejarah Hari Kebangkitan Nasional

Pada tanggal 20 Mei 1908, Budi Utomo, organisasi pertama yang mengusung semangat kebangsaan Indonesia, didirikan. Pendirian Budi Utomo menjadi tonggak awal gerakan nasional Indonesia yang bertujuan untuk memperjuangkan kemerdekaan dari penjajahan Belanda.

Kebangkitan Nasional Indonesia adalah periode pada paruh pertama abad ke-20 di Nusantara (kini Indonesia), ketika rakyat Indonesia mulai menumbuhkan rasa kesadaran nasional sebagai “orang Indonesia”. Masa ini ditandai dengan dua peristiwa penting yaitu berdirinya Budi Utomo (20 Mei 1908) dan ikrar Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928).

Untuk mengejar keuntungan ekonomi dan menguasai administrasi wilayah, Belanda menerapkan sistem pemerintahan kolonial pada orang-orang yang sebelumnya tidak memiliki kesamaan identitas politik. Pada awal abad ke-20, Belanda menetapkan batas-batas teritorial di Hindia Belanda, yang menjadi cikal bakal Indonesia modern.

Pada paruh pertama abad ke-20, muncul sejumlah organisasi kepemimpinan yang baru. Melalui kebijakan Politik Etis, Belanda membantu menciptakan sekelompok orang Indonesia yang terpelajar. Perubahan yang mendalam pada orang-orang Indonesia ini sering disebut sebagai “Kebangkitan Nasional Indonesia”. Peristiwa ini dibarengi dengan peningkatan aktivitas politik hingga mencapai puncaknya pada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.

Dalam perayaan Hari Kebangkitan Nasional, sering kali diadakan berbagai kegiatan seperti upacara bendera, peringatan, diskusi, seminar, dan acara budaya yang melibatkan masyarakat. Pemerintah, lembaga pendidikan, dan organisasi kemasyarakatan sering kali berpartisipasi dalam perayaan ini dengan mengadakan kegiatan yang bertema nasionalisme, sejarah, dan kebangsaan.

Pentingnya Perayaan Hari Kebangkitan Nasional

Perayaan Hari Besar Ini memiliki arti penting dalam membangun identitas nasional, menyatukan bangsa, dan memupuk rasa cinta tanah air serta semangat kebangsaan di kalangan masyarakat Indonesia. Melalui perayaan ini, diharapkan bahwa masyarakat Indonesia dapat mengingat dan menghargai perjuangan para pahlawan serta memperkuat tekad untuk menjaga dan mengembangkan bangsa dan negara Indonesia.

Selain memperingati pendirian Budi Utomo, Hari Kebangkitan Nasional juga menjadi momentum untuk merefleksikan perjalanan sejarah bangsa Indonesia, menghargai perjuangan para pahlawan nasional, dan menggugah semangat kebangkitan nasional di tengah perubahan zaman.

Peringatan Hari Kebangkitan Nasional juga dapat menjadi momen penting untuk mengajarkan nilai-nilai kebangsaan kepada generasi muda. Melalui edukasi sejarah dan kegiatan yang relevan, seperti ceramah, diskusi, dan kontes-kontes, masyarakat dapat lebih memahami jasa-jasa para pahlawan kemerdekaan dan pentingnya mempertahankan dan mengembangkan keberagaman serta persatuan bangsa.

Selain itu, Hari Kebangkitan Nasional juga menjadi ajang untuk merayakan prestasi dan kemajuan bangsa Indonesia dalam berbagai bidang, seperti politik, ekonomi, sains, olahraga, seni, dan budaya. Perayaan ini dapat menjadi momen untuk mengenang berbagai capaian bangsa yang telah memberikan sumbangan dalam memajukan Indonesia.

Peringatan di Era Modern

Di era modern ini, peringatan Hari Kebangkitan Nasional juga sering dikaitkan dengan semangat inovasi, kreativitas, dan kewirausahaan. Dalam rangka meningkatkan kebangkitan nasional, masyarakat didorong untuk berperan aktif dalam pembangunan dan berkontribusi dalam memajukan Indonesia melalui berbagai bidang kehidupan, termasuk ekonomi, pendidikan, teknologi, dan lingkungan.

Penutup

Dengan mengenang dan merayakan Hari Kebangkitan Nasional, diharapkan masyarakat Indonesia dapat terus terinspirasi dan tergerak untuk memperkuat persatuan, semangat kebangsaan, dan dedikasi dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia sebagai negara yang maju, berdaulat, adil, dan berkepribadian.

Continue Reading

Artikel

Mengapa Isu “Loss and Damage” Dalam COP27 Penting untuk Indonesia

Contohnya adalah tenggelamnya pulau-pulau kecil milik negara-negara kepulauan di kawasan Pasifik seperti Kiribati dan Tuvalu. Indonesia juga menghadapi ancaman serupa.

Published

on

Banjir
Foto udara banjir yang melanda Pekalongan karena penurunan tanah dan kenaikan muka air laut | Foto: Antara/Harviyan Perdana Putra

Lampung.co – Para pemimpin dunia sedang berkumpul di Mesir untuk mengikuti konferensi iklim Perserikatan Bangsa Bangsa (Conference of Parties 27 atau COP27).

Dalam pertemuan ini, selain poin penting seputar mitigasi, adaptasi, dan pendanaan, pemimpin dunia juga turut membahas persoalan “loss and damage” atau kehilangan dan kerusakan.

Lalu apa itu loss and damage dan mengapa ini penting untuk Indonesia?

Dampak perubahan iklim

Pakar perubahan iklim dari Independent University Bangladesh, Saleemul Huq, dalam buku The Climate Book yang dibuat oleh pegiat lingkungan Greta Thunberg, memaparkan bahwa yang dimaksud dengan “loss” adalah sesuatu yang hilang secara utuh dan tidak mungkin bisa kembali. Tidak peduli berapa banyak uang yang digelontorkan untuk membuatnya lagi.

Contohnya adalah tenggelamnya pulau-pulau kecil milik negara-negara kepulauan di kawasan Pasifik seperti Kiribati dan Tuvalu. Indonesia juga menghadapi ancaman serupa. Menurut peneliti BRIN, ada 115 pulau di Indonesia yang terancam hilang atau tenggelam.

<span class="caption">Foto udara banjir yang melanda Pekalongan karena penurunan tanah dan kenaikan muka air laut.</span> <span class="attribution"><span class="source">Harviyan Perdana Putra/Antara</span></span>

Sementara “damage” mengacu pada sesuatu yang rusak akibat bencana iklim tapi masih bisa diperbaiki, tentu saja dengan catatan jika kita punya uang dan sumber daya yang mumpuni. Pemutihan terumbu karang, kerusakan lahan pertanian akibat kekeringan panjang, dan hancurnya pemukiman serta fasilitas umum akibat banjir adalah contoh nyata kerusakan yang sedang dan akan terus dihadapi Indonesia.

Kajian dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) memprediksi Indonesia akan menanggung kerugian ekonomi yang luar biasa dalam rentang waktu 2020-2024, yaitu sebesar Rp 544 triliun atau setara dengan 31% realisasi pendapatan negara tahun 2021 yang mencapai 1.736 triliun.

Pertanyaan kemudian muncul, siapa yang akan menanggung kerugian ekonomi yang sedemikian besar? Apakah semua akan ditanggung negara? Tentu tidak, sebagian besar kerugian ini akan ditanggung sendiri oleh masyarakat rentan, seperti penduduk pesisir pantai atau para petani yang menggantungkan hidupnya pada kondisi alam.

Jalan terjal keadilan iklim

Meski tidak dapat menutup semua kerugian ekonomi, Indonesia sangat berkepentingan untuk mendapatkan kompensasi loss and damage dari negara maju untuk mengurangi pengeluaran dari anggaran negara. Karena itulah, perwakilan Indonesia di COP harus mengawal agenda pembahasan perkara ini dalam COP.

Namun, upaya membawa isu loss and damage ke meja perundingan COP bukan perkara mudah. Sudah 30 tahun lebih isu ini dibawa oleh negara berkembang. Merunut sejarahnya, isu loss and damage pertama kali dibawa oleh Vanuatu yang mewakili Aliansi Negara-Negara Kepulauan Kecil (AOSIS) pada 1991.

<span class="caption">Menteri Luar Negeri Tuvalu, Simon Kofe, saat berpidato di tengah pesisir negaranya yang terendam karena kenaikan muka air laut.</span> <span class="attribution"><span class="source">via social media</span></span>

Saleemul Huq juga mengkritik isu loss and damage seakan menjadi hal tabu dalam negosiasi iklim internasional karena ada embel-embel kompensasi di baliknya. Negara majulah yang kerap menghindari persoalan ini. Pemenuhan janji pendanaan iklim US$ 100 miliar yang digelontorkan negara maju ke negara berkembang saja sudah berat dan sulit dicapai, apalagi ditambah ganti rugi loss and damage.

Proposal bersama koalisi negara G77 dan Cina untuk mendapatkan fasilitas pendanaan loss and damage tahun lalu juga ditolak oleh kelompok negara maju penyumbang emisi terbesar seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa di Glasgow.

Akhirnya kabar baik datang dari Mesir. Dalam COP27, ada enam negara yang mau berkomitmen untuk menyumbang pendanaan loss and damage. Mereka adalah Skotlandia, Denmark, Jerman, Austria, Irlandia, dan Belgia. Gabungan pendanaan dari enam negara ini mencapai kurang lebih US$ 265 juta.

Jumlah ini memang belum banyak. Sebab, dua ilmuwan dari Basque Center for Climate Change Spanyol Anil Markandya dan Mikel González-Eguino menaksir kerugian tak terhindarkan yang ditanggung negara-negara berkembang akibat bencana iklim diprediksi mencapai US$ 290 – 580 miliar (Rp 4.519 – 9.033 triliun) pada 2030. Angka ini akan terus meningkat hingga US$ 1.132 – 1.741 miliar (Rp 17.631 – 27.117 triliun) pada 2050.

Namun begitu, komitmen pendanaan dari enam negara maju setidaknya menjadi simbol solidaritas terhadap perjuangan negara-negara berkembang. Ini juga menjadi sindiran untuk negara maju lainnya yang masih bergeming.

Hingga saat ini, ketimpangan yang sangat besar antara komitmen pendanaan loss and damage dengan perkiraan kebutuhannya masih akan ditanggung sendiri oleh negara-negara sedang berkembang.

Saatnya bergerak

Isu loss and damage harus bisa lepas dari bayang-bayang dominasi pembicaraan mitigasi atau pengurangan emisi. Tentu saja, ambisi dan upaya negosiasi pengurangan emisi negara-negara harus terus digenjot.

<span class="caption">Aktivis organisasi lingkungan Friends of Earth menyuarakan isu loss and damage di COP21 pada 2015.</span> <span class="attribution"><span class="source">(John Englart/Flickr)</span></span>

Namun, perlu diingat bahwa dampak dari krisis iklim sudah di depan mata dengan semakin meningkatknya bencana iklim khususnya di negara-negara sedang berkembang.

Para pemimpin dunia juga harus memikirkan tantangan yang sedang terjadi dan turut berkontribusi meringankan beban negara-negara berkembang.

Kompensasi dari loss and damage penting untuk mewujudkan keadilan iklim bagi negara-negara berkembang. Seperti kita tahu bahwa kontribusi emisi negara-negara ini relatif lebih sedikit dibandingkan dengan emisi dari negara-negara maju sejak revolusi industri.

Sayangnya, negara-negara sedang berkembang harus menanggung kerugian dampak perubahan iklim lebih banyak.

Nicola Sturgeon, Perdana Menteri Skotlandia, juga menyayangkan ketidakadilan ini dalam pidatonya pada panel loss and damage. Ia juga menyoroti bahwa aksi nyata untuk loss and damage sangat terlambat dan mendesak negara maju untuk menyediakan pendanaan sekarang juga.

Peran Indonesia

Kucuran dana kompensasi loss and damage ke Indonesia akan meringankan beban anggaran negara untuk menanggulangi kerugian akibat bencana iklim.

Namun, pembicaraan loss and damage akan menghadapi batu terjal dalam perundingan-perundingan berikutnya. Penting bagi delegasi Indonesia dan tentunya Presiden Joko Widodo terus menyuarakan isu ini dalam perundingan COP di Mesir, Dubai (tuan rumah COP28 tahun depan) dan seterusnya.

Indonesia bisa menjadi aktor kunci untuk memperkuat koalisi G77 dengan Cina dan juga keenam negara maju yang berkepentingan terhadap isu loss and damage.

Indonesia dekat dengan negara-negara ekonomi besar dalam G20, sekaligus juga dekat dengan negara-negara G77 dan Aliansi Negara-Negara Kepulauan Kecil (AOSIS). Ini memberikan posisi strategis bagi Indonesia untuk terus menggaungkan dan menjaga momentum isu loss and damage dalam berbagai kesempatan pertemuan internasional.The Conversation

Oleh: Stanislaus Risadi Apresian,
Assistant Professor of International Relations, Universitas Katolik Parahyangan

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation dengan judul Mengenal isu “loss and damage” dalam COP27 dan mengapa ini penting untuk Indonesia.

Continue Reading

Banyak Dibaca