Kolom
[Kolom] Jahanam dalam Demokrasi Indonesia

Bukan soal “Cebong vs Kampret” tapi kok ruang gerak kritikus di negara demokrasi ini terlihat semakin kontras. Dan parahnya lagi, fenomena ini terlihat sistemik. Pemanfaatan massa yang terindikasi “melibatkan” aparat serta dukungan media mainstream tampak jelas.
Bagaimana mungkin sekolompok orang mampu menggagalkan kedatangan Neno Warisman yang sudah meginjakan kakinya di Bandara Pekanbaru Riau. Sementara tidak kalah banyak massa yang menanti kedatangan Neno di Provinsi yang terletak di bagian tengah pulau Sumatera. Ini jahanam dalam negara demokrasi.
Beralih ke kasus lain, Polisi tak memberikan izin acara diskusi yang akan dihadiri Ratna Sarumpaet dan Rocky Gerung di Bangka Belitung. Ini juga tak kalah bengisnya. Aparat yang seharusnya mampu melindungi, mengayomi dan melayani justru “memenjarakan” ruang pikir masyarakat.
Sementara dalam rangka menjamin bahwa kekuasaan tidak melampaui batas kekuasaannya maka diperlukan suatu sistem checks and balances system (sistem pengawasan dan keseimbangan). Checks and balances system merupakan suatu mekanisme yang menjadi tolok ukur kemapanan konsep negara hukum dalam rangka mewujudkan demokrasi.
Adam Kirsch, dalam esai berjudul How to Live With Critics (Whether You’re an Artist or the President) yang dimuat di The New York Times (14 June 2017), yang mengatakan; Setiap orang berhak memberi penilaian terhadap seseorang. Setiap orang diberikan otoritas yang kritis untuk mengatakan “saya suka atau saya tidak suka”.
Namun, Kirsch menegaskan, kritik hendaknya disampaikan dengan cara-cara beradab, bukan menghakimi pribadi seseorang, apalagi sampai menyinggung sisi-sisi kemanusiaannya.
Peran oknum media juga tak kalah bejatnya. Sebuah berita dibuat dengan judul Kritik untuk Polisi yang Tak Beri Izin Diskusi Ratna-Rocky di Babel, tapi konten gambar berisikan tulisan “Kami Relawan Peduli Pemilu Damai Menolak Kedatangan Ratna Sarumpaet di Bumi Babel”
Saya tidak ragukan karya jurnalistik beberapa media mainstream yang menjadi corong pemerintah. Hanya saja sangat disayangkan jika peran media sebagai controlling terhadap ketidak adilan mulai diabaikan lantaran pandangan politik.
Proses framing sebagai agenda setting dilakukan dengan sengaja untuk penggiringan opini publik mengarahkan berita ke sebuah persepsi. Kemudian menciptakan bias informasi akan sebuah issue, sehingga kepercayaan publik akan informasi yang sesungguhnya menjadi lemah. Kejam.
Rudy Satrio dalam tulisan yang berhudul Haatzai Artikelen dan Fungsi Kritik dari Pers mengatakan; media harus mampu menampung dan menyalurkan kebutuhan manusia untuk berekspresi mengeluarkan pikiran dan perasaan (sebagai salah satu bagian dari hak asasi manusia untuk bebas mengemukakan pendapat freedom of opinion) dan sebagai barometer kehidupan politik dan demokrasi suatu masyarakat atau Negara.
Oleh: Rodi Ediyansyah, S.E.I.
Pemimpin Umum Lampung.co
4,719 kali dilihat, 15 kali dilihat hari ini

Artikel
Mengapa Isu “Loss and Damage” Dalam COP27 Penting untuk Indonesia
Contohnya adalah tenggelamnya pulau-pulau kecil milik negara-negara kepulauan di kawasan Pasifik seperti Kiribati dan Tuvalu. Indonesia juga menghadapi ancaman serupa.
8,360 kali dilihat, 76 kali dilihat hari ini

Lampung.co – Para pemimpin dunia sedang berkumpul di Mesir untuk mengikuti konferensi iklim Perserikatan Bangsa Bangsa (Conference of Parties 27 atau COP27).
Dalam pertemuan ini, selain poin penting seputar mitigasi, adaptasi, dan pendanaan, pemimpin dunia juga turut membahas persoalan “loss and damage” atau kehilangan dan kerusakan.
Lalu apa itu loss and damage dan mengapa ini penting untuk Indonesia?
Dampak perubahan iklim
Pakar perubahan iklim dari Independent University Bangladesh, Saleemul Huq, dalam buku The Climate Book yang dibuat oleh pegiat lingkungan Greta Thunberg, memaparkan bahwa yang dimaksud dengan “loss” adalah sesuatu yang hilang secara utuh dan tidak mungkin bisa kembali. Tidak peduli berapa banyak uang yang digelontorkan untuk membuatnya lagi.
Contohnya adalah tenggelamnya pulau-pulau kecil milik negara-negara kepulauan di kawasan Pasifik seperti Kiribati dan Tuvalu. Indonesia juga menghadapi ancaman serupa. Menurut peneliti BRIN, ada 115 pulau di Indonesia yang terancam hilang atau tenggelam.
Sementara “damage” mengacu pada sesuatu yang rusak akibat bencana iklim tapi masih bisa diperbaiki, tentu saja dengan catatan jika kita punya uang dan sumber daya yang mumpuni. Pemutihan terumbu karang, kerusakan lahan pertanian akibat kekeringan panjang, dan hancurnya pemukiman serta fasilitas umum akibat banjir adalah contoh nyata kerusakan yang sedang dan akan terus dihadapi Indonesia.
Kajian dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) memprediksi Indonesia akan menanggung kerugian ekonomi yang luar biasa dalam rentang waktu 2020-2024, yaitu sebesar Rp 544 triliun atau setara dengan 31% realisasi pendapatan negara tahun 2021 yang mencapai 1.736 triliun.
Pertanyaan kemudian muncul, siapa yang akan menanggung kerugian ekonomi yang sedemikian besar? Apakah semua akan ditanggung negara? Tentu tidak, sebagian besar kerugian ini akan ditanggung sendiri oleh masyarakat rentan, seperti penduduk pesisir pantai atau para petani yang menggantungkan hidupnya pada kondisi alam.
Jalan terjal keadilan iklim
Meski tidak dapat menutup semua kerugian ekonomi, Indonesia sangat berkepentingan untuk mendapatkan kompensasi loss and damage dari negara maju untuk mengurangi pengeluaran dari anggaran negara. Karena itulah, perwakilan Indonesia di COP harus mengawal agenda pembahasan perkara ini dalam COP.
Namun, upaya membawa isu loss and damage ke meja perundingan COP bukan perkara mudah. Sudah 30 tahun lebih isu ini dibawa oleh negara berkembang. Merunut sejarahnya, isu loss and damage pertama kali dibawa oleh Vanuatu yang mewakili Aliansi Negara-Negara Kepulauan Kecil (AOSIS) pada 1991.
Saleemul Huq juga mengkritik isu loss and damage seakan menjadi hal tabu dalam negosiasi iklim internasional karena ada embel-embel kompensasi di baliknya. Negara majulah yang kerap menghindari persoalan ini. Pemenuhan janji pendanaan iklim US$ 100 miliar yang digelontorkan negara maju ke negara berkembang saja sudah berat dan sulit dicapai, apalagi ditambah ganti rugi loss and damage.
Proposal bersama koalisi negara G77 dan Cina untuk mendapatkan fasilitas pendanaan loss and damage tahun lalu juga ditolak oleh kelompok negara maju penyumbang emisi terbesar seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa di Glasgow.
Akhirnya kabar baik datang dari Mesir. Dalam COP27, ada enam negara yang mau berkomitmen untuk menyumbang pendanaan loss and damage. Mereka adalah Skotlandia, Denmark, Jerman, Austria, Irlandia, dan Belgia. Gabungan pendanaan dari enam negara ini mencapai kurang lebih US$ 265 juta.
Jumlah ini memang belum banyak. Sebab, dua ilmuwan dari Basque Center for Climate Change Spanyol Anil Markandya dan Mikel González-Eguino menaksir kerugian tak terhindarkan yang ditanggung negara-negara berkembang akibat bencana iklim diprediksi mencapai US$ 290 – 580 miliar (Rp 4.519 – 9.033 triliun) pada 2030. Angka ini akan terus meningkat hingga US$ 1.132 – 1.741 miliar (Rp 17.631 – 27.117 triliun) pada 2050.
Namun begitu, komitmen pendanaan dari enam negara maju setidaknya menjadi simbol solidaritas terhadap perjuangan negara-negara berkembang. Ini juga menjadi sindiran untuk negara maju lainnya yang masih bergeming.
Hingga saat ini, ketimpangan yang sangat besar antara komitmen pendanaan loss and damage dengan perkiraan kebutuhannya masih akan ditanggung sendiri oleh negara-negara sedang berkembang.
Saatnya bergerak
Isu loss and damage harus bisa lepas dari bayang-bayang dominasi pembicaraan mitigasi atau pengurangan emisi. Tentu saja, ambisi dan upaya negosiasi pengurangan emisi negara-negara harus terus digenjot.
Namun, perlu diingat bahwa dampak dari krisis iklim sudah di depan mata dengan semakin meningkatknya bencana iklim khususnya di negara-negara sedang berkembang.
Para pemimpin dunia juga harus memikirkan tantangan yang sedang terjadi dan turut berkontribusi meringankan beban negara-negara berkembang.
Kompensasi dari loss and damage penting untuk mewujudkan keadilan iklim bagi negara-negara berkembang. Seperti kita tahu bahwa kontribusi emisi negara-negara ini relatif lebih sedikit dibandingkan dengan emisi dari negara-negara maju sejak revolusi industri.
Sayangnya, negara-negara sedang berkembang harus menanggung kerugian dampak perubahan iklim lebih banyak.
Nicola Sturgeon, Perdana Menteri Skotlandia, juga menyayangkan ketidakadilan ini dalam pidatonya pada panel loss and damage. Ia juga menyoroti bahwa aksi nyata untuk loss and damage sangat terlambat dan mendesak negara maju untuk menyediakan pendanaan sekarang juga.
Peran Indonesia
Kucuran dana kompensasi loss and damage ke Indonesia akan meringankan beban anggaran negara untuk menanggulangi kerugian akibat bencana iklim.
Namun, pembicaraan loss and damage akan menghadapi batu terjal dalam perundingan-perundingan berikutnya. Penting bagi delegasi Indonesia dan tentunya Presiden Joko Widodo terus menyuarakan isu ini dalam perundingan COP di Mesir, Dubai (tuan rumah COP28 tahun depan) dan seterusnya.
Indonesia bisa menjadi aktor kunci untuk memperkuat koalisi G77 dengan Cina dan juga keenam negara maju yang berkepentingan terhadap isu loss and damage.
Indonesia dekat dengan negara-negara ekonomi besar dalam G20, sekaligus juga dekat dengan negara-negara G77 dan Aliansi Negara-Negara Kepulauan Kecil (AOSIS). Ini memberikan posisi strategis bagi Indonesia untuk terus menggaungkan dan menjaga momentum isu loss and damage dalam berbagai kesempatan pertemuan internasional.
Oleh: Stanislaus Risadi Apresian,
Assistant Professor of International Relations, Universitas Katolik Parahyangan
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation dengan judul Mengenal isu “loss and damage” dalam COP27 dan mengapa ini penting untuk Indonesia.
8,361 kali dilihat, 77 kali dilihat hari ini
Kolom
Kenapa Mahasiswa Pertanian Tak Ingin Jadi Petani? Ini Jawabannya
Keinginan mahasiswa IPB menjadi petani cukup rendah, yaitu sebesar rata-rata 5,65 dari 10, jauh di bawah rata-rata keinginan mereka untuk membuka bisnis di sektor lain yaitu sebesar 8,29.
9,286 kali dilihat, 76 kali dilihat hari ini

Lampung.co – Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata usia petani meningkat dari 39,9 tahun pada 2000 menjadi 45,7 tahun pada 2020. Ini menunjukkan tren penuaan tenaga kerja sektor pertanian dan rendahnya minat anak muda menjadi petani.
Sayangnya, hasil riset saya pada 577 mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) menunjukkan bahwa lulusan pertanian memiliki minat yang rendah untuk bergelut di sektor ini karena kurangnya pengetahuan mereka, rendahnya kepercayaan diri, stigma, hingga ketiadaan dukungan dari orang tua dan pendidik.
Keinginan mahasiswa IPB menjadi petani cukup rendah, yaitu sebesar rata-rata 5,65 dari 10, jauh di bawah rata-rata keinginan mereka untuk membuka bisnis di sektor lain yaitu sebesar 8,29.
Hal ini bisa menjadi ancaman karena menurut penelitian beberapa pakar, petani tua cenderung kurang produktif dan efisien serta enggan untuk mengadopsi teknologi terbaru. Indikasi ancaman ini dibuktikan dengan 4,79% penduduk Indonesia – atau setara dengan 13 juta penduduk – mengalami kerawanan pangan di tahun 2021, yang salah satunya dapat disebabkan kekurangan produksi pangan dalam negeri.
Kekurangan produksi pangan juga ditunjukkan dengan rata-rata peningkatan impor pangan sebesar 5,98% tiap tahunnya. Padahal, dengan adanya krisis global saat ini, termasuk pandemi COVID-19 dan Perang Rusia-Ukraina yang mengguncang perdagangan lintas negara, para ahli mengakui perlunya mencapai swasembada dan ketahanan rantai pasokan.
Menghadapi situasi ini, Indonesia butuh regenerasi di sektor pertanian dan lebih banyak petani muda.
Mengapa generasi muda enggan menjadi petani?
Saya menemukan beberapa faktor yang signifikan mempengaruhi keinginan mahasiswa menjadi petani.
Keakraban atau pengetahuan mahasiswa terhadap aktivitas bertani berpengaruh positif terhadap keinginan mereka menjadi petani. Rata-rata tingkat keakraban mahasiswa IPB terhadap aktivitas bertani hanya sebesar 5,83 dari 10.
Hasil tersebut mengindikasikan bahwa sekalipun mereka adalah mahasiswa di universitas pertanian, bukan berarti mereka mendapatkan pengetahuan yang cukup untuk aktivitas bertani dari kegiatan belajar di kelas. Aktivitas ini termasuk produksi pertanian di lapangan, baik dalam bercocok tanam, manajemen tenaga kerja, maupun penjualan hasil panen. Sulit bagi mereka membayangkan menjadi petani jika mereka merasa asing dengan aktivitas bertani itu sendiri.
Saya juga menemukan bahwa kepercayaan diri mahasiswa untuk mengambil risiko menjadi faktor yang signifikan di balik keinginan menjadi petani.
Hasil survei yang saya lakukan menunjukkan bahwa rata-rata skala kesediaan mahasiswa mengambil keputusan berisiko apabila mereka menjadi petani hanya berkisar di angka 5,42.
Memang, penelitian menyebutkan bahwa pekerjaan petani memiliki risiko yang lebih besar daripada pekerjaan lain. Petani harus menghadapi beragam tantangan seperti kegagalan panen karena iklim atau hama, harga yang tidak stabil di pasar, bunga dari pembayaran pinjaman, dan kecelakaan kerja dan kesehatan. Tanpa keyakinan yang tinggi untuk mengambil risiko, berat bagi generasi muda untuk memiliki aspirasi menjadi petani.
Sementara itu, dukungan dari orang tua memiliki pengaruh yang positif terhadap keinginan mahasiswa menjadi petani. Terdapat sekitar 47.5% mahasiswa yang tidak menerima dukungan dari orang tua untuk menjadi petani.
Mahasiswa yang menerima dukungan yang rendah dari orang tua kemungkinan terkait dengan faktor lain yang saya temukan berpengaruh terhadap keinginan mahasiswa menjadi petani, yaitu pendidikan ayah. Temuan saya menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan ayah, semakin rendah keinginan anaknya untuk menjadi petani. Hal ini sejalan dengan data yang saya temukan bahwa 48% mahasiswa yang ayahnya berpendidikan SMA dan universitas tidak menerima dukungan dari orang tua untuk menjadi petani.
Saya juga menghubungkan penemuan tersebut dengan faktor lain yang signifikan dalam mempengaruhi keinginan mahasiswa menjadi petani, yaitu pandangan mahasiswa terhadap pekerjaan petani adalah untuk orang yang berpendidikan rendah. Bisa jadi, karena responden adalah mahasiswa sedang menempuh pendidikan tinggi di universitas, mereka (begitu pula orang tuanya) tidak bisa membayangkan untuk menjalani profesi yang lekat dengan stigma pendidikan rendah.
Dukungan untuk tidak menjadi petani ternyata dapat diteruskan antargenerasi. Saya menjumpai mahasiswa yang keinginannya rendah juga akan tidak mendukung anak mereka di masa depan jika ingin menjadi petani.
Terakhir, saat ditanya hal apa yang dapat meningkatkan keinginan mahasiswa untuk menjadi petani, kebanyakan menekankan pentingnya akses terhadap modal dan aset. Hal ini mengindikasikan juga bahwa rendahnya keinginan mereka menjadi petani adalah karena tidak memiliki kecukupan sumber daya untuk memulai usaha bertani.
Lalu, bagaimana meningkatkan keinginan mereka menjadi petani?
Untuk meningkatkan pengetahuan dan keakraban mahasiswa terhadap aktivitas bertani, universitas dapat bekerja sama dengan petani individu maupun perusahaan untuk menawarkan program magang kepada mahasiswa. Selain membuat mahasiswa lebih akrab dengan aktivitas bertani, ini juga membuat mahasiswa memiliki sosok mentor untuk ke depannya.
Mentor juga dapat mengenalkan mahasiswa tentang keputusan berisiko apa saja yang harus diambil sebagai petani, sekaligus meningkatkan kepercayaan diri mereka untuk masuk ke sektor pertanian.
Kita juga perlu mengubah persepsi mengenai pekerjaan petani, khususnya bahwa pekerjaan ini hanya untuk mereka yang berpendidikan rendah. Persepsi tersebut harus direm supaya tidak berlanjut ke generasi berikutnya dan membuat semakin sedikit yang ingin menjadi petani.
Pemerintah bisa mulai mempromosikan kampanye bahwa penting bagi Indonesia untuk memiliki petani muda yang berpendidikan tinggi demi mendukung produksi pangan lebih produktif, efisien, dan inovatif. Upaya mengubah persepsi ini perlu mendapat dukungan penuh dari orang tua dan pendidik.
Sekitar 70% mahasiswa yang disurvei merasa mendapat dukungan dari dosen untuk menjadi petani. Dukungan tersebut secara signifikan berdampak positif terhadap keinginan mahasiswa menjadi petani. Ini perlu ditingkatkan lagi agar keinginan mahasiswa menjadi petani semakin tinggi dan dirasakan oleh semua mahasiswa.
Terakhir, pemerintah perlu meningkatkan program bantuan modal dan aset bagi mahasiswa yang ingin menjadi petani sekaligus secara gencar mempromosikan program tersebut. Sebab, peningkatan keinginan mahasiswa menjadi petani sangat diperlukan untuk menjamin keamanan pangan serta tercapainya swasembada dan ketahanan rantai pasokan.
Oleh: Lukas Bonar Nainggolan,
Researcher, Lembaga Demografi FEB UI
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation dengan judul Riset: Mahasiswa pertanian tak ingin jadi petani, apa sebabnya?
9,287 kali dilihat, 77 kali dilihat hari ini
Artikel
Derita Anak Pekerja Migran: Jadi Korban Kekerasan Seksual
Ketika mereka menjadi korban kekerasan seksual, diperparah dengan adanya ketimpangan usia dan relasi kuasa, posisi mereka justru makin terpuruk.
9,791 kali dilihat, 76 kali dilihat hari ini

Lampung.co – Anak-anak para pekerja migran Indonesia (PMI) (sebelumnya disebut tenaga kerja Indonesia) yang ditinggal orang tuanya bekerja ke luar negeri sangat rentan menjadi korban kekerasan, tidak hanya kekerasan fisik tapi juga kekerasan seksual.
Dalam kegiatan penyuluhan lapangan di Lampung Selatan pada Juli lalu, misalnya, beberapa peneliti dan akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) menemukan bahwa banyak anak PMI yang menjadi korban kekerasan, baik fisik, psikis, maupun seksual. Beberapa kasus yang banyak ditemui adalah kasus inses, perdagangan, prostitusi, dan perkawinan anak.
Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) tahun 2021 menunjukkan kekerasan seksual mendominasi jenis kekerasan yang menimpa anak-anak, yakni 46,07%, di samping jenis-jenis kekerasan lainnya seperti fisik, psikis, atau penelantaran.
Sayangnya, hingga saat ini belum ada data spesifik mengenai jumlah anak pekerja migran yang ditinggalkan. Padahal ini merupakan hal krusial untuk pengambilan kebijakan perlindungan terhadap anak pekerja migran.
Ketika melakukan sosialisasi Undang-undang (UU) Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), Tim FHUI mencoba melihat faktor penyebab rentannya anak-anak PMI mengalami kekerasan seksual di Lampung Selatan. Beberapa faktor utamanya antara lain pola pengasuhan yang tidak peka gender dan minimnya literasi keluarga terkait bentuk kekerasan seksual menjadi faktor utama kerentanan tersebut.
Pola pengasuhan yang kurang peka keadilan gender
Kebanyakan dari anak-anak PMI ditinggal oleh ibunya yang bekerja ke luar negeri. Sejauh ini, perempuan – yang juga sebagai ibu – memang mendominasi jumlah PMI.
Berdasarkan data penempatan PMI bulan Agustus 2022, dari total 21.018 penempatan, 61% PMI berjenis kelamin perempuan. Dari total penempatan itu juga, sejumlah 35% PMI berstatus menikah dan 12% berstatus cerai. Dari angka tersebut dapat diperkirakan bahwa ada sekitar 10.000 PMI perempuan yang telah menikah atau pernah menikah, dan kemungkinan besar sudah memiliki anak-anak yang harus mereka tinggalkan ketika merantau ke luar negeri.
Selama ditinggal ibunya, mayoritas anak-anak PMI tersebut mendapatkan pola pengasuhan yang tidak adil gender. Para suami atau ayah merasa pengasuhan anak yang ditinggalkan bukan menjadi tanggung jawab mereka, sehingga mereka akhirnya melimpahkan pengasuhan kepada kakek, nenek, atau keluarga dan kerabat dekat, seperti paman dan bibi, bahkan tetangga.
Pola seperti ini seringkali membuat anak-anak tersebut merasa sendirian dan kesepian. Kondisi ini kadang mendorong mereka untuk mencari pemenuhan perhatian dan kasih sayang dari lingkungan yang ada di sekelilingnya.
Inilah yang kemudian menyebabkan mereka mudah mendapat stigma negatif dari masyarakat sekitar sebagai trouble maker atau ‘centil’.
Ketika mereka menjadi korban kekerasan seksual, diperparah dengan adanya ketimpangan usia dan relasi kuasa, posisi mereka justru makin terpuruk. Mereka malah mengalami reviktimisasi (double victimization) karena alih-alih dibantu untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialami, mereka justru disalahkan atas perilaku mereka.
Dalam beberapa kasus kekerasan seksual pun pelakunya adalah ayah – biasanya ayah tiri – dari korban sendiri. Penyebabnya, kembali lagi, ketimpangan relasi kuasa dan usia, ditambah kondisi rumah yang sempit dan sepi. Sayangnya, di banyak daerah, masih banyak masyarakat yang menganggap kejadian ini sebagai masalah “privat” keluarga, sehingga pihak luar, seperti tetangga, yang mengetahuinya tidak berani menegur, apalagi melapor.
Minimnya pengetahuan akan bentuk-bentuk kekerasan seksual
Tim kami melakukan penyuluhan ke Pondok Pesantren Minhadlul ‘Ulum – di sana banyak santrinya merupakan anak PMI – dan komunitas orang tua PMI di Desa Sukadamai, Lampung Selatan.
Kami menemukan bahwa para anak-anak PMI serta orang tua dan keluarga mereka masih sangat minim pengetahuannya akan bentuk kekerasan seksual.
Ketika kami menanyakan jika salah satu dari mereka mendapatkan perlakuan cat calling atau yang mereka kenal sebagai ‘siul-siul’, biasanya bagaimana reaksi mereka. Mayoritas para santri menjawab bahwa tidak perlu ‘baper’ (dibawa perasaan) karena hal tersebut hanyalah bentuk bercandaan.
Mereka tidak tahu bahwa ‘siul-siul’ adalah salah satu bentuk kekerasan seksual non-fisik kategori catcalling yang, menurut UU TPKS, dapat dipidanakan.
Situasi semakin kompleks dengan penggunaan teknologi yang semakin pesat. Banyak dari anak-anak PMI yang sudah memiliki telepon genggam dan mengakses media sosial. Ketika kami menanyakan pendapat mereka tentang suatu komentar seksis di salah satu foto artis perempuan yang berbunyi “Waahh besar banget punya mba-nya”, mereka menganggap komentar tersebut bukan hal yang serius dan hanya ‘iseng’ sehingga tidak perlu dibesar-besarkan.
Mereka tidak paham bahwa komentar tersebut termasuk kategori Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang pelakunya juga dapat dipidana.
Masih banyak masyarakat di Indonesia, terlebih anak-anak, yang belum paham bahwa kategori kekerasan seksual dimulai dari bentuk yang paling ‘ringan’, tidak melulu soal perbuatan ekstrem.
Pengertian mereka terkait kekerasan seksual masih terasosiasikan hanya pada pemerkosaan. Padahal, kekerasan verbal atau non-fisik juga dapat menimbulkan dampak psikis yang parah.
Anggapan remeh terhadap bentuk-bentuk kekerasan seksual yang mereka anggap ‘ringan’ tersebut membuka peluang terjadinya kekerasan seksual yang lebih berat. Hal ini tentu berpengaruh pada keengganan korban untuk melapor ketika mereka merasa dirugikan, apalagi bagi anak-anak PMI yang ditinggalkan di kampung tanpa keberadaan orang tua.
Dasar hukum perlindungan anak-anak PMI
Setidaknya ada tiga aturan hukum nasional yang bisa menjadi acuan untuk melindungi anak-anak PMI, yakni UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI), UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, dan UU TPKS.
UU PPMI mengatur perlindungan bukan hanya terhadap para PMI namun juga mencakup keluarga yang mereka tinggalkan, termasuk anak. UU Perlindungan Anak lebih lanjut menjamin bahwa setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari kejahatan seksual dan kekerasan. Sementara itu UU TPKS secara lebih progresif mengatur bentuk-bentuk kekerasan seksual sampai hak-hak korban yang harus dipenuhi.
Namun, efektivitas hukum tidak hanya dipengaruhi oleh substansi hukum atau yang tertulis dalam UU, tapi juga struktur dan budaya hukum. Asumsi ‘semua orang tahu hukum’ tidak dapat menjamin keberlakuan hukum itu sendiri.
Faktor penting lain yang dapat menjamin efektivitas implementasi hukum di antaranya adalah kesiapan aparat penegak hukum untuk melaksanakan amanah UU TPKS serta jaminan bahwa mereka tidak bias gender dan sudah memiliki perspektif yang berpihak pada korban.
Bicara tentang budaya hukum, faktor yang juga harus kita perhatikan adalah seberapa kental budaya patriarki di masyarakat kita yang sering kali menempatkan perempuan atau anak di posisi yang inferior, tingkat kesadaran masyarakat untuk memperlakukan perempuan sebagai ‘subjek’, bukan ‘objek’ seksual.
Memperbaiki struktur hukum dan mengubah budaya hukum tidak semudah membalikkan telapak tangan. Harus ada sosialisasi hukum agar masyarakat lebih ‘melek’ akan substansi hukum itu sendiri.
Di sinilah akademisi hukum dapat turun berperan dalam pemberian informasi dan peningkatan kesadaran masyarakat, termasuk pada para keluarga PMI. Agar mereka paham bahwa anak-anak mereka merupakan ‘subjek hukum’ yang memiliki hak-hak yang harus dipenuhi.
Negara pun harus berperan aktif untuk memastikan bahwa setiap anak PMI yang ditinggalkan tetap mendapatkan pola pengasuhan yang layak. Masyarakat juga perlu terlibat menciptakan sistem sosial yang aman dan berperan aktif dalam mendampingi tumbuh kembang anak PMI yang ditinggalkan.
Di samping itu, pemerintah secara terpadu harus terus berupaya untuk memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan para keluarga pekerja migran. Hal ini dapat dilakukan melalui pelatihan keterampilan, atau akses pendidikan yang memadai, sehingga pada akhirnya bekerja ke luar negeri tidak menjadi satu-satunya pilihan.
Oleh: Yvonne Kezia Dhianingtyas Nafi,
Assistant lecturer, Universitas Indonesia.
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation dengan judul Derita anak pekerja migran: ditinggalkan orang tua, menjadi korban kekerasan seksual.
9,792 kali dilihat, 77 kali dilihat hari ini
-
Berita18 jam ago
Prakiraan Cuaca Lampung Hari Ini
-
Berita17 jam ago
Harga Emas Hari Ini, Lengkap 0,5 Gram hingga 1 Kg
-
Berita20 jam ago
Jadwal Sholat di Bandar Lampung Hari Ini
-
Aplikasi2 hari ago
Panduan Lengkap Cara Cloning Aplikasi di Samsung Semua Tipe
-
Aplikasi3 hari ago
Ini Pilihan Aplikasi TikTok Download Tanpa Watermark
-
Berita11 jam ago
Maling Ayam, Warga Lampung Utara Diamuk Massa Hingga Tewas
-
Berita4 hari ago
Komisi V DPRD Lampung Minta KPU Perbaiki Hasil Coklit
-
Lifestyle3 hari ago
Begini Cara Merawat Sneakers yang Benar Biar Awet
You must be logged in to post a comment Login